Buaya jumbo yang dianggap sebagai siluman akhirnya mati dipenggal warga di Pulau Bangka. Ini bukan konflik buaya versus manusia yang pertama. Kasus serupa ini seolah terjadi lagi dan lagi di Indonesia. Ilmuwan mencoba mencari solusi.
Ilmuwan dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidi, menengarai dua kemungkinan. Pertama, populasi buaya meningkat. Kedua, populasi manusia meningkat. Dua kemungkinan ini mengakibatkan konflik buaya versus manusia tidak terelakkan.
"Populasi buaya di beberapa wilayah meningkat. Buaya muara sangat adaptif di lingkungan air," kata Amir kepada detikcom, Jumat (7/8/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buaya muara atau Crocodylus porosus sebagaimana yang dipenggal di Bangka itu merupakan hewan yang mudah beradaptasi di wilayah perairan. Tidak seperti wilayah daratan, wilayah perairan lebih jarang terusik perkembangan permukiman manusia. Maka buaya bisa tetap hidup sampai berukuran besar dan banyak.
Di sisi lain, buaya muara adalah hewan yang dilindungi. Amir menyebut aturan yang melindungi buaya ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
"Permasalahannya, ketika buaya semakin besar maka dia bersifat semakin teritorial, semua dia anggap sebagai mangsa, apalagi saat musim kawin maka dia lebih agresif. Di sisi lain, populasi manusia semakin bertambah," kata Amir.
"Konflik menjadi tidak terelakkan," imbuhnya.
Video viral 'buaya siluman' dibawa buldoser dan dipenggal itu berasal dari Desa Kayubesi, Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Apakah memang populasi buaya di wilayah itu mengalami peningkatan? Itulah yang perlu segera dipastikan supaya langkah-langkah terukur bisa segera diambil, sehingga manusia tidak terancam.
"Buaya di Bangka Belitung masuk ke kanal-kanal perkebunan sawit, ke bekas galian timah. Kini harus ada survei yang integratif, survei mengenai populasi buaya," kata Amir. Dia yakin pemenggalan buaya di Bangka kemarin tidak terjadi tiba-tiba, melainkan didahului konflik atau rasa aman warga yang terusik oleh buaya.
Jenis hewan yang mampu bertahan sejak era dinosaurus ini bisa saja telah mengalami peningkatan jumlah, sehingga berita-berita soal manusia diserang buaya terdengar dari mana-mana. Di sisi lain, 'pemanenan' buaya dari alam tidak boleh dilakukan sembarangan karena bisa kena jerat hukum. Bila memang populasi buaya di Bangka sudah meningkat, langkah pengendalian populasi buaya bisa dilakukan.
![]() |
"Di dalam regulasi nasional pun, manajemen populasi (mengambil sejumlah hewan yang populasinya sudah naik) itu boleh dilakukan, tapi harus ditetapkan oleh SK Satwa Buru, diterbitkan berdasarkan rekomendasi ilmiah melalui survei populasi," kata Amir.
Amir mencontohkan Serawak, Malaysia, sebagai kawasan yang pernah mengizinkan perburuan buaya karena populasi buaya meningkat dan membahayakan penduduk. Namun, buaya yang boleh ditangkap dari alam tidak boleh sembarangan. Yang boleh ditangkap adalah anakan atau telur yang kemudian bisa ditangkarkan dan diambil manfaat ekonominya.
"Ada banyak konflik buaya versus manusia dan desakan untuk mengurangi (populasi buaya). Tapi kita harus bijaksana. Ada solusi, misalnya buaya ditangkap dan digunakan untuk penangkaran," kata Amir.