Anggapan 'nanti sembuh sendiri' dalam kondisi badan yang tidak biasa memang kerap didengar di tengah masyarakat. Jangan salah, ternyata anggapan itu memicu angka kematian yang cukup tinggi, apalagi bagi pengidap virus Corona (COVID-19).
Telaah ini disampaikan oleh anggota Tim Pakar Satgas Penanganan COVID-19, Dewi Nur Aisyah, dalam diskusi yang disiarkan akun YouTube BNPB, Rabu (5/8/2020). Dewi menyinggung kebiasaan masyarakat Indonesia yang baru berobat ketika kondisi sudah buruk.
"Harus kita pahami bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia biasanya baru pergi berobat ketika kondisinya sudah buruk. Mungkin ketika gejalanya ringan, 'Ah nggak apa-apa ah, nanti sembuh sendiri,' atau, 'Cukuplah nanti kita minum obat warung.' Seperti itu," kata Dewi dalam diskusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Justru, menurut Dewi, anggapan yang keliru, seperti 'nggak apa-apa, nanti sembuh sendiri' bisa membuat penanganan pasien COVID-19 menjadi terlambat. Ketika seseorang terlambat mendapatkan penanganan, penyembuhan menjadi lebih sulit. Potensi kematian menjadi lebih besar. Sebaliknya, apabila seseorang mendapatkan penanganan medis ketika kondisinya belum parah, penyembuhan lebih mudah.
"Kebanyakan kita temui pasien pasien di rumah sakit ini ketika kondisinya sudah memburuk baru datang ke rumah sakit. Nah ketika datang ke rumah sakit apalagi rumah sakitnya penuh atau banyak yang datang ke sana ya pasti kan agak sulit ya untuk mana yang lebih dahulu untuk diprioritaskan," tuturnya.
Potensi kematian juga datang dari penyakit menular dan penyakit tidak menular yang ada di Indonesia. Misalnya hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung. Sebagai contoh, pada pasien yang punya penyakit hipertensi kemudian terjangkit COVID-19, potensi kematiannya menjadi lebih tinggi.
"Ketika dia punya kondisi penyerta kemudian terkena COVID-19, ini akan membuat kondisi pasien lebih memburuk. Ini juga yang mengakibatkan angka kematian yang tinggi karena angka penyakit tidak menular kita lebih tinggi," kata Dewi.
Sebesar 23-26% lebih kematian di Indonesia disebabkan hipertensi. Indonesia juga menempati peringkat ke-6 dunia dalam hal penyakit diabetes melitus, dengan 10 juta lebih penderita diabetes melitus ada di Indonesia.
Selain itu, ada faktor ketersediaan alat kesehatan dan sumber daya manusia yang bekerja di bidang kesehatan. Untuk mengurangi kepadatan tingkat okupansi di rumah sakit, pasien COVID-19 tanpa gejala berat bisa menjalani isolasi di rumah masing-masing.
Semua itu bisa berkontribusi terhadap tingginya angka kematian di Indonesia. "Pencegahan lebih utama," kata Dewi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyoroti angka kematian COVID-19 di Indonesia yang cukup tinggi. Jokowi menyampaikan case fatality rate Indonesia 4,7 persen atau lebih tinggi 0,8 persen dari angka kematian global.
"Suasana pada minggu-minggu ini masyarakat berada pada posisi yang khawatir, mengenai COVID, entah karena kasusnya meningkat atau terutama menengah atas melihat karena orang taat pada protokol kesehatan bukan semakin sedikit tapi semakin banyak dan kita tahu sampai kemarin sudah ada 111 ribu lebih kasus dengan case fatality rate 4,7 persen dan angka kematian di Indonesia lebih tinggi 0,8 persen dari kematian global ini, saya kira yang menjadi PR besar kita bersama," kata Jokowi saat ratas, Senin (3/8).