PT Jakarta Kuatkan Vonis 8 Tahun Penjara Emirsyah Satar

PT Jakarta Kuatkan Vonis 8 Tahun Penjara Emirsyah Satar

Andi Saputra - detikNews
Senin, 20 Jul 2020 17:06 WIB
Terdakwa kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada Garuda Indonesia Emirsyah Satar (berbatik coklat) dan Soetikno Soedarjo (berbatik biru) menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/2/2020). Sidang tersebut beragenda pemeriksaan dua saksi yang dihadirkan jaksa KPK yakni mantan Manager Administrasi & Finance Connaught International Pte. Ltd.  Sallywati Rahardja (kiri) dan karyawan PT MRA, Rita Wahyuni.
Emirsyah Satar (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menguatkan vonis 8 tahun penjara kepada mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia (Persero) Emirsyah Satar. Emir divonis terkait kasus korupsi pengadaan pesawat di PT Garuda Indonesia.

"Menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 8 Mei 2020 Nomor 121/Pid.Sus-Tpk/2019/PN.Jkt.Pst yang dimintakan banding tersebut," demikian bunyi putusan PT Jakarta yang dikutip detikcom dari website-nya, Senin (20/7/2020).

Vonis itu diketok pada Jumat (17/7) kemarin. Wakil Ketua PT Jakarta Andriani Nurdin menjadi ketua majelis di perkara itu. Adapun anggota majelis adalah I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Jeldi Ramadhan dan Anthon R Saragih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menetapkan masa penahanan Terdakwa tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat peradilan, yang pada tingkat banding sejumlah Rp 2.500," ujar majelis.

Sebelumnya diberitakan, Emirsyah Satar divonis 8 tahun hukuman penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Emirsyah dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima uang yang totalnya senilai Rp 46 miliar.

ADVERTISEMENT

"Mengadili, menyatakan terdakwa Emirsyah Satar terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan alternatif pertama," kata hakim ketua Rosmina.

"Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa berupa pidana penjara selama 8 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan, bila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan," imbuh hakim.

Tonton video 'ICW Soroti Merosotnya Jumlah OTT KPK di Era Firli Bahuri':

Selain hukuman penjara, Emirsyah diminta membayar uang pengganti kerugian negara senilai SGD 2,1 juta. Uang pengganti tersebut harus dibayarkan selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak membayar, asetnya akan disita oleh negara.

Sumber uang Rp 46 miliar itu didapat Emirsyah dari sejumlah pihak. Pihak tersebut adalah Airbus SAS, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR), dan Bombardier Inc.

Untuk pemberian dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR diserahkan melalui Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo. Sedangkan dari Bombardier disebut melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.

Selain soal suap, Emirsyah bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang. Pencucian uang yang dilakukan Emirsyah bersama Soetikno Soedarjo dari suap pengadaan pesawat tersebut.

Emirsyah Satar terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU No 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pengacara Emirsyah Satar, Luhut Pangaribuan, menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta dengan adil. Menurutnya, majelis hakim dalam mempertimbangkan alat bukti haruslah berdasarkan kebenaran materiil, bukan kebenaran formil.

"Padahal mempertimbangkan alat bukti harus materiil, tidak formil. Misalnya, PN menyebut ES (Emirsyah Satar) pernah menitipkan uang kepada SS (Soetikno Soedarjo), itu keliru. Tidak adil menimbangnya. Misalnya, tidak pernah ada pembuktian Garuda rugi. Justru sebaliknya, Garuda untung dalam pengadaan pesawat dan pemeliharaan mesin," tutur Luhut.

Halaman 2 dari 2
(asp/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads