Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango ikut mengomentari heboh pelarian buron kasus cessie (hak tagih) Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra. Nawawi menilai kehebohan dalam pelarian Djoko Tjandra itu tak lepas dari buruknya koordinasi antara aparat penegak hukum dan lembaga terkait.
"Kasus Djoko Tjandra jelas-jelas merupakan cermin buruknya koordinasi antara aparat penegak hukum dan badan lembaga lain terkait," kata Nawawi kepada wartawan, Sabtu (18/7/2020).
Untuk itu, ia berharap Menko Polhukam Mahfud Md membangun dan memperkuat koordinasi antara aparat penegak hukum dan lembaga. Sebab, ia menilai koordinasi antara aparat penegak hukum dan lembaga itulah yang saat ini harus dibangun daripada membentuk tim baru.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di sinilah peran Prof Mahfud selaku Menko Polhukam dibutuhkan untuk membangun 'koordinasi' yang rapuh tersebut, dan bukan dengan 'melahirkan' kembali tim baru," sebutnya.
Djoko Tjandra awalnya bikin geger karena sempat datang ke PN Jakarta Selatan untuk mengajukan sendiri permohonan peninjauan kembali (PK). Ini menjadi ironis lantaran Djoko Tjandra, yang berstatus buron sejak 2009, sampai kini belum tertangkap.
Kehebohan mengenai permohonan PK yang diajukan Djoko Tjandra ini mengungkap kongkalikong di sektor lain. Akhirnya terungkap pengurusan kilat e-KTP Djoko Tjandra di Kelurahan Grogol Selatan hingga penerbitan surat jalan dari Jakarta ke Pontianak.
Buntut dari kasus Djoko Tjandra tersebut, sejumlah pejabat pemerintahan dan anggota Polri dicopot dari jabatannya. Mereka adalah Lurah Grogol Selatan Asep Subhan, yang kini distafkan di kantor Wali Kota Jakarta Selatan. Kemudian tiga anggota Polri, yakni Brigjen Prasetijo Utomo dicopot dari jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Nugroho Wibowo dicopot dari jabatan Sekretaris NCB Interpol Indonesia, dan Irjen Napoleon Bonaparte dari jabatan Kadiv Hubinter Polri.
(ibh/jbr)