Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Juniver Girsang menyoroti terkait pelaksanaan sidang online perkara pidana yang digelar di masa pandemi COVID-19. Peradi menilai pelaksanan sidang pidana secara online ini merugikan terdakwa karena kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak, terutama penasihat hukum yang tidak berada berdampingan dengan terdakwa.
"Apa yang menjadi permasalahan sidang online? Pertama kurangnya pemenuhan hak-hak para pihak, terutama yang tidak berdampingan dengan terdakwa. Malahan yang kami alami adalah persidangan penasihat hukum harus ada di dua posisi, pertama terdakwa bersama penasihat hukum di mana terdakwa itu ditahan, kedua penasihat hukum juga hadir di persidangan yang dilakukan pada saat hakim memeriksa sidang teleconference," kata Juniver, dalam webinar 'Sistem Peradilan di Masa Kahar' pada Senin (13/7/2020).
Juniver keberatan advokat tidak dilibatkan dalam perjanjian kerjasama antara Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung mengenai persidangan online. Selain itu pada Pasal 5 ayat 2 perjanjian tersebut mengatur persidangan secara teleconference di tempat kedudukan masing-masing, misalnya terdakwa di rutan, hakim di pengadilan, jaksa di kantor kejaksaannya, tetapi implementasinya dinilai merugikan karena penasihat hukum tidak berada berdampingan dengan terdakwa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Implementasi dari Pasal 5 ayat 2 tersebut dalam persidangan teleconference masing-masing pihak dikenal work from the office sehingga posisi penasihat hukum dan terdakwa adalah yang paling dirugikan. Bagaimana tidak, posisi majelis berada di pengadilan, posisi jaksa penuntut umum berada di kejaksaan, terdakwa berada di rutan terpisah dengan penasihat hukum yang berada di kantornya," katanya.
"Kenapa saya katakan di kantornya, pengalaman kami bahwa kalau kita mendampingi terdakwa ada hambatan pada saat kita mau mendampingi di tahanan," ujarnya.
Tak hanya itu, ia mengatakan kendala persidangan online juga dirasakan saat terdakwa ditahan di rutan kepolisian yang juga minim sarana peralatan elektronik. Selain itu, Juniver menilai persidangan online terkendala minimnya peralatan elektronik, dan jaringan, serta kurangnya teknisi IT.
"Keterbatasan sarana dan prasarana seperti keterbatasan ruang sidang yang memiliki perangkat teleconference, ini sangat terbatas. Bahkan di persidangan kita harus me-recheck kalau tidak on di pengadilan, bisa tidak on, di lapas bisa juga tidak on, di kejaksaan juga tidak on dan akhirnya yang tertunda, ini pengalaman-pengalaman yamg kami rasakan sejak dilakukan sidang online di masa COVID-19," ujarnya.