Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) mengusulkan agar prosedur persidangan online juga diatur dalam revisi UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal itu karena KUHAP belum mengatur tata cara prosedur persidangan secara online.
"Kalau menurut saya, rekomendasinya, agar supaya kebenaran materiil bisa terpenuhi, maka mau tidak mau titik tekan kita yang utama adalah melakukan revisi atau melakukan pembenahan regulasi, yang dikhususkan persidangan online atau e-litigasi. Terkait dengan persidangan online dan rekomendasi ini, saya bedakan dengan aspek prosedural dan aspek substansial," kata Kepala BPHN Kemenkum HAM Benny Riyanto dalam diskusi bertajuk 'Persidangan Online sebagai Inovasi Beracara Pidana di Masa Pandemi COVID-19', Rabu (8/7/2020).
"Kalau aspek prosedural kita menyiapkan regulasinya, entah itu sementara waktu berbentuk perma (peraturan Mahkamah Agung) dan kemudian kita ditindaklanjuti dengan revisi KUHAP itu adalah aspek prosedural. Prosedur pembentukan regulasinya," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai perlu ada payung hukum terkait persidangan online. Saat ini mekanisme persidangan online karena darurat kesehatan COVID-19 baru diatur dalam surat edaran MA dan Kejaksaan Agung serta MoU antara Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Kementerian Hukum dan HAM.
Namun, menurutnya, hal itu tidak cukup karena di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai pemeriksaan saksi, baik terdakwa, barang bukti, harus dihadirkan dan diperiksa saksama di persidangan. Karena itu, ia mengusulkan dalam waktu dekat agar Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung terkait prosedur persidangan pidana secara online.
"Kalau menurut saya, pembentukan regulasi ini dipisahkan dengan dua, yaitu yang terkait dengan kebutuhan revisi parsial regulasi, parsial dalam jangka pendek karena sudah sangat dibutuhkan, sementara kalau akan mengubah KUHAP itu membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, secara parsial sementara waktu bisa dibuatkan perma khusus sidang online di perkara pidana bagaimana prosedurnya yang berbada dengan Perma 1 Tahun 2019," ujar Benny.
Selain itu, lanjut Benny, revisi terhadap KUHAP perlu dilakukan karena sudah berada di Prolegnas jangka menengah. Menurutnya, revisi KUHAP bisa didorong dengan cepat asalkan telah memenuhi syarat pembentukan undang-undang dan bila dalam keadaan mendesak.
"Ini saya kembalikan sejauh mana dianggap perlunya urgensitas atas melakukan revisi KUHAP itu sendiri. Kalau kita semua sepakat bahwa ini sangat urgen, tinggal pemerintah nanti mendorong baik melalui inisiatif Kejagung, Kemenkum HAM, mendorong duduk berbicara dengan DPR agar sepakat ini bisa segera dilahirkan sesuai Pasal 23 UU 12 Tahun 2011," katanya.