Dinas Pariwisata DKI Jakarta dan Satpol PP DKI Jakarta menggerebek diskotek, tempat karaoke, dan griya pijat Top One pada Jumat pekan lalu. Mereka dianggap telah melakukan pelanggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di masa transisi fase pertama.
Kepala Satpol PP Jakarta Barat Tamo Sijabat menceritakan proses penggerebekan di Diskotek Top One yang dilakukan sekitar pukul 09.00 WIB, Jumat (3/7/2020). Padahal, kata dia, petugas dari Dinas Pariwisata sudah berada di lokasi sejak pukul 01.00 WIB.
"Informasi saya dengar dari pariwisata infonya dari jam 1 pagi, dia nggak boleh masuk atau dia nggak diizinkan masuk. (Masuk jam 9), jadi karena ada AC nyala. Jadi karena (Dinas) Pariwisata 'hayu kita paksa masuk', ya kita masuk," ujar Tamo saat dihubungi, Rabu (8/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tamo menjelaskan, ketika petugas masuk, beberapa pengunjung sempat ada yang menangis dan pura-pura tidak mengetahui aturan. Namun dia menilai tangisan itu hanya pura-pura.
"Kalau nangis sih ada, mukanya dibikin sedih ada, tapi kalau melawan nggak ada. Nutupin (muka), pura-pura nutupin mata, kepala juga," ucapnya.
Tonton juga 'Dugem Saat Pandemi Corona, 71 Pengunjung Diskotek Diangkut Polisi':
"Kalau mungkin ya berlagak (tidak tahu) bisa saja ya, berlagak ini, 'kami kan ini, kami kan ini'," kata Tamo sambil mencontohkan alasan pengunjung saat digerebek.
Tamo mengatakan para pengunjung dan karyawan tidak melakukan perlawanan ketika digerebek. Mereka kooperatif kepada petugas.
"Nggak ada perlawanan, mereka nurut, ngikut," katanya.
Penggerebekan itu pun menyisakan pengakuan pengunjung yang cukup mencekam. Hal ini terjadi saat pengunjung bersembunyi.
Dilansir kantor berita Antara, Rabu (8/7/2020), salah seorang pengunjung yang mengaku bernama Wanda menyebutkan, sekitar pukul 03.00 WIB pada Jumat (3/7) dini hari, dirinya diminta pengelola diskotek bersembunyi dengan alasan ada razia dari BNN. Wanda mengaku diminta bersembunyi hingga pukul 10.00 WIB pagi.
"Jadi dibilangnya ada razia BNN, kami semua dikumpulin di tangga darurat, lampu dan AC semua dimatiin, gelap gulitalah," ucap Wanda saat dihubungi.
Padahal, penggerebekan dilakukan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta serta Satpol PP Jakarta Barat. Wanda beserta ratusan pengunjung lainnya mengeluh karena panas dan pengap di 'tempat persembunyian' itu.
Namun Wanda mengatakan, pengelola tetap meminta mereka bertahan. Selain itu, Wanda mengaku pihak keamanan Top One juga mengumpulkan ponsel seluruh pengunjung.
"Sebelum ponsel disita itu saya masih sempat minta taksi online jemput, soalnya dibilang jam enam bisa keluar. Tapi sampai pagi kami masih dikunciin juga," tuturnya.
Pada pukul 10.00 WIB, kata Wanda, para pengunjung dipindahkan ke lantai paling atas. Namun, menurut Wanda, saat itu mereka belum bisa pulang.
"Kami dipindah ke rooftop, di situ lega, tapi masih belum boleh keluar karena katanya masih ada BNN," ujarnya.
Selang beberapa waktu terdengar entakan kaki dan teriakan dari lantai bawah yang belakangan diketahui puluhan petugas Satpol PP yang merangsek masuk ke gedung Top One. Tidak berselang lama, sejumlah anggota kepolisian dan Satpol PP menuju ruangan tempat berkumpulnya seluruh pengunjung Top One.
Ketika itu, meski khawatir ditangkap aparat, Wanda mengaku gembira dapat meninggalkan Top One dan bisa segera pulang ke rumah. Dia bersama seluruh pengunjung lain pun diminta turun dan meninggalkan gedung. Setelah dikumpulkan di bagian belakang gedung, mereka kemudian didata hingga akhirnya dipulangkan.
Di sisi lain, Humas Top One, Andry, mengakui pihaknya mengunci gedung dan menempatkan seluruh pengunjung di rooftop. "Kan, tidak masuk akal orang lagi panik ketakutan kok mau berbuat yang tidak-tidak. Suasananya mencekam ditambah banyak ruangan masih gelap gulita," kata Andry dikonfirmasi pada Senin (6/7).
"Pada dasarnya kami mohon pembinaan Pemerintah DKI Jakarta agar usaha di sektor tempat hiburan tetap berjalan sebagai mana mestinya," imbuhnya.
Belakangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan sanksi kepada diskotek Top One. Sanksi yang diberikan berupa penyegelan dan denda maksimal senilai Rp 25 juta.