Polisi menetapkan sastrawan Felix K Nesi jadi tersangka kasus dugaan perusakan di Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT). Felix Nesi bercerita soal protesnya terkait penyelesaian kasus dugaan seksual dalam gereja.
Felix menyampaikan itu dalam keterangannya saat dimintai konfirmasi detikcom, Senin (6/7/2020). Tulisan itu juga diunggah Felix ke akun Facebook-nya pada Sabtu (3/7/2020).
"Malam ini saya akan menginap di kantor polisi sektor Kecamatan Insana. Saya dilaporkan oleh komunitas Pastoran SMK Bitauni," kata Felix memulai cerita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Felix mengatakan Pastoran SMK Bitauni terletak hanya sekitar 700 meter dari rumahnya. Dua adiknya, laki dan perempuan, tamat dari sana. Saat masih seminari-frater, setiap liburan dia mengaku tidur dan bangun makan di situ.
"Kini, sekolah itu mempunyai lebih dari 100 siswi. Tapi sekitar bulan Januari/Februari, Romo A pindah ke sana. Romo A adalah seorang pastor yang, saat itu, dipindahkan dari paroki Tukuneno karena bermasalah dengan perempuan. Ia berbuat salah kepada perempuan, dan tak perlu kita bahas detailnya," ujarnya.
Saat tahu bahwa sesudah bermasalah dengan perempuan di sebuah paroki, lanjutnya, pastor A langsung dipindahkan saja ke sekolah menengah yang penuh dengan perempuan. Felix lalu datang ke SMK Bitauni dan bertemu dengan Romo Kepala Sekolah.
"Saya bilang, tolong, Romo Kepala, pindahkan kembali si Romo A dari sini. Romo Kepala bilang: 'Felix, kamu harus bicara langsung dengan uskup. Kami bicara lama sekali. Seperti bapak dan anak. Di akhir pembicaraan, Romo Kepala bilang, ya, SK Romo A ini hanya sementara, hanya untuk satu atau dua bulan. Sesudah itu, ia akan pindah lagi. Ini istilahnya hanya penyegaran," ucapnya.
Dengan memegang kalimat romo kepala sekolah yang terakhir itu, Felix datag lagi satu bulan kemudian. Yaitu sekitar bulan Maret atau April.
"Saya ke sana tepat saat makan malam. Saya monolog di depan romo-romo, di depan Mgr. Pain Ratu, berbicara tentang kekecewaan saya. Di situ juga ada Romo A, saya bilang: Romo, tolong, pindahlah dari sini, carilah tempat sepi untuk berefleksi, untuk menentukan pilihan-pilihan, sebelum berkarya kembali," ujarnya.
"Pembicaraan panjang yang menurut saya penuh dalih dan kelit membuat saya sempat emosi juga. Saya kejar kembali Romo Kepala dengan pernyataannya, bahwa SK Romo A itu hanya sementara. Apakah Romo berbohong? Saya bertanya. Romo Kepala spontan bilang: "Saya tidak pernah berbohong, ingat itu!," imbuhnya.
Felix menduga Romo juga mulai marah ketika dibilang berbohong. Namun, menurut Felix, dia kembali memegang kata-katanya.
"Maka saya kembali memegang kata-katanya. Ia seorang pekerja keras, saya menghormati kerja-kerjanya di sekolah itu -- mengubah sekolah yang dulu hanya hutan menjadi lebih baik. Maka saya menunggu. Mungkin, pikir saya, bulan depan sudah akan pindah," katanya.
Namun pada 3 Juli 2020 sekitar pukul 20.00 WIT, Felix datang lagi ke sekolah itu. Penjaga sekolah bilang Romo A masih ada.
"Saya kecewa sekali. Di novel saya, Orang-Orang Oetimu, saya menulis tentang pastor yang sukanya melindungi kebusukan pastor lain. Apakah saya baru saja melihatnya di dunia nyata ini? Saat menggarap novel, saya pernah mewawancarai seorang bapak yang mengasingkan anak perempuannya ke kampung sesudah anak tunggalnya itu dihamili seorang pastor -- pastor itu tetap di kota, anaknya yang 'disembunyikan'. Bapak itu menangis sambil bercerita. Antara putus asa dan terluka, tetapi tetap mengasihi anak perempuan (dan cucu)-nya. Hanya ia yang menangis, tetapi kami sama-sama terluka," paparnya.
"Saya kecewa juga pada keuskupan yang hanya memindah-mindahkan saja pastor bermasalah. Dari paroki yang penuh cewek OMK, ke sekolah yang penuh siswi. Tanpa memikirkan pentingnya hari-hari sepi untuk refleksi bagi pastor yang kekosongan hatinya hanya bisa diisi oleh afeksi perempuan -- pastor yang tidak cukup dihibur oleh badminton, atau sepakbola, atau anak-anak babi di kandang," sambungnya.