Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI Puan Maharani. Surat tersebut terkait dengan pandangan Komnas HAM atas Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) dilibatkannya TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
"Kami ingin menyampaikan bahwa beberapa hari yang lalu Komnas HAM telah mengirimkan surat resmi kepada Bapak Presiden Republik Indonesia yang kemudian pada saat yang sama juga surat diajukan juga kepada Ketua DPR RI, ditembuskan kepada pimpinan komisi 3 dan pimpinan komisi 1 DPR RI terkait dengan pandangan Komnas HAM atas rancangan peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme," kata Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik dalam jumpa pers yang disiarkan langsung melalui akun Youtube humas Komnas HAM, Rabu, (24/6/2020).
Taufan berharap Jokowi dapat segera memberikan respons atas dikirimnya surat tersebut. Mewakili Komnas HAM, Taufan meminta Jokowi mencabut Rancangan Perpres tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kepada Bapak Presiden berharap ada respons segera terkait dengan permintaan kami supaya itu dicabut rancangan ini dan disusun satu rancangan yang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip criminal justice system, prinsip di dalam Undang-Undang 34 tentang TNI dan prinsip di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 maupun prinsip-prinsip hak asasi manusia lainnya," ujarnya.
Dikatakan Taufan bahwa UU No 34 Tahun 2014 dalam Pasal 7 ayat 3 pelibatan TNI hanya bisa dilakukan pada saat operasi selain perang, termasuk dalam hal pemberantasan terorisme. Namun TNI hanya dilibatkan sebagai perbantuan polisi dan tidak terlibat sepenuhnya dalam mengatasi terorisme.
"Undang-Undang 34 Tahun 2004 tentang TNI pada Pasal 7 ayat 3, misalnya, memang ada poin di situ bahwa TNI di dalam operasi selain perang, misalnya, itu bisa dilibatkan dalam beberapa hal tertentu, termasuk lah pemberantasan terorisme. Tetapi di situ dikatakan dia menjadi bagian dari tugas perbantuan kepada kepolisian republik Indonesia. Sebagaimana kita tahu, tugas polisi republik Indonesia dalam soal ... terorisme itu di dalam konsep criminal justice system, jadi dalam pemberantasan tindak pidana atau penanggulangan tindak pidana dalam hal ini terorisme," jelasnya.
Selain itu, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI M Choirul Anam menilai judul rancangan perpres tersebut bermasalah. Judul dinilai bermasalah karena menggunakan kata aksi terorisme dan tidak terdapat tindak pidana yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Terorisme.
"Yang pertama tadi sudah diingatkan oleh pak Taufan bahwa judul perpres sendiri bermasalah. Jadi judul perpres-nya itu aksi terorisme jadi tidak ada tindak pidananya, padahal perintahnya undang-undang adalah perpres untuk mengatur tindak pidana terorisme bagaimana pelibatan TNI, tapi itu dihilangin jadi memang judul pun punya masalah yang ini mencerminkan semua substansi yang ada di dalamnya," kata Anam.
Selain itu, Anam menyoroti anggaran TNI dalam pancangan perpres tersebut. Berdasarkan konstruksi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, semua anggaran TNI berasal dari APBN. Rancangan perpres ini dikatakan Anam dapat membuka peluang anggaran TNI melalui APBD dan sumber lainnya sehingga mengganggu profesionalitas TNI
"Nah yang berikutnya mempertegas apa yang dikatakan oleh pak Taufan tadi soal anggaran. Jadi anggaran itu dalam konstruksi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 soal TNI semua anggaran TNI harus melalui APBN tapi di sini di buka peluang anggaran melalui APBD atau sumber-sumber lain itu ndak bisa nanti mengganggu profesionalitas tentara kita jadi kami tidak ingin Komnas HAM tidak ingin militer kita tidak profesional gara-gara salah satunya compang-camping support terhadap mereka. Kalau yang satu dikasih dari anggaran lebih besar karena sumber lain satunya dari APBN karena support-nya kecil, loh ini akan berantakan, sudah gitu membikin tidak profesional," ujarnya.
Anam menyampaikan, TNI boleh dilibatkan dalam penindakan terorisme, namun dalam skala tertentu dan terbatas dan harus tetap berkoordinasi dengan polisi. TNI hanya diperbolehkan terlibat dalam penindakan terorisme apabila polisi gagal dan terdapat ancaman yang serius.
"Kami membolehkan TNI terlibat tapi dalam skala tertentu. Baca perpres ini itu ada fungsi penindakan di pasal 2-nya itu ada penangkalan penindakan dan pemulihan. Boleh dia melakukan penindakan tapi skalanya tertentu dan sangat terbatas. Apa ukurannya tertentu dan terbatas yang paling gampang adalah ketika polisi gagal. Jadi misalnya ketika polisi sudah menghadapi satu kelompok teroris yang sangat serius yang sangat jagoan dan sebagainya polisi gagal tentara boleh masuk boleh dilibatkan. Yang berikutnya adalah dibolehkan tentara juga masuk ketika memang ancaman yang sangat serius, misalnya ketika polisi tidak memiliki alat untuk atau tidak memiliki senjata yang memadai. Nah, itu tentara boleh masuk tapi di bawah koordinasi polisi," tandasnya.
(imk/imk)