Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mendatangkan tentangan dari koalisi masyarakat sipil. Mandat yang diberikan kepada militer dinilai berlebihan dan mengancam perlindungan hak asasi manusia.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi masalah hukum, HAM, dan keamanan, I Wayan Sudirta, mengatakan kekhawatiran tersebut bisa dipahami. Hanya, menurut Sudirta, perpres tersebut merupakan amanat dari ketentuan Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketentuan tersebut berbunyi, "(1) Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang; (2) Dalam mengatasi aksi Terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi TNI."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, ayat yang ketiga menyebutkan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden."
"UU itu juga memberi waktu setahun untuk melahirkan Peraturan Pelaksanaan, jadi sudah seharusnya ada upaya untuk membuat suatu regulasi untuk melengkapi UU tersebut," ujar Sudirta.
Karena itu, menurut Sudirta, upaya menyiapkan rancangan perpres merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah untuk mengantisipasi penanggulangan terorisme.
Namun, Sudirta mengingatkan, pelibatan itu harus sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur bahwa mengatasi aksi terorisme merupakan salah satu tugas pokok TNI yang masuk dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
Agar tidak menimbulkan kekhawatiran dan polemik bahwa pelibatan militer akan mendegradasi kedudukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dalam undang-undang sebagai lembaga yang berada di depan dalam menanggulangi terorisme, maka menurut Sudirta ada materi yang harus mendapat penjelasan lebih rinci dalam perpres yang akan diterbitkan.
Menurut Sudirta, pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme merupakan pilihan terakhir setelah institusi keamanan yang ada seperti polisi tidak cukup mampu untuk mengatasi terorisme. Militer juga dapat beraksi terkait misi keamanan warga negara Indonesia yang disandera teroris di luar negeri.
"Yang terpenting adalah mengatur jika eskalasi ancaman keamanan meningkat dan mengganggu kedaulatan negara, kemudian Presiden menetapkan status keadaan darurat militer," ujar Sudirta.
Kemudian, menurut politisi PDIP itu, prinsip utama yang diatur dalam perpres juga harus menekankan pengerahan kekuatan militer dalam OMSP untuk mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik presiden.
"Jadi presiden sangat menentukan peran TNI dalam mengatasi terorisme," katanya.
Tonton juga video Kasus Terorisme, Densus Geledah Gudang Ekspedisi di Surabaya:
Secara prinsip ini akan terkait dengan hak darurat (staatnoodsrect) yang dapat diambil presiden. Menurut Sudirta, konstitusi Indonesia mengatur staatnoodsrect dapat dilihat dalam dua aspek, yakni aspek objektif dan aspek subjektif. Aspek objektif tertuang dalam Pasal 12 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Sementara aspek subjektif, diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. "Dalam konteks ini, kondisi bahaya yang diatur adalah merupakan staatnoodsrect dalam sisi subjektif, di mana TNI dapat terlibat dalam penanganan terorisme," ujar Sudirta.
Selain itu, menurut Sudirta, pelibatan TNI ini pada intinya bersifat sementara dalam menangani terorisme. Akuntabilitas hukum dalam menangani terorisme pun harus sama seperti polisi. "Institusi TNI harus tunduk pada mekanisme peradilan umum perihal pertanggungjawaban hukumnya, jika terjadi pelanggaran atau kesalahan," ujar Sudirta.
Sementara itu anggota Komisi III lainnya Syarifuddin Sudding menyatakan pelibatan TNI tersebut harus mengacu pada mekanisme dan prosedur yang sudah diamanatkan dalam UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"BNPT sebagai leading sector tidak bisa langsung dikangkangi kewenangannya," ujar politisi dari Partai Amanat Nasional itu.