RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang merupakan RUU usulan DPR memantik polemik. Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok, M Cholil Nafis, menyerukan kepada seluruh anak bangsa untuk bersama-sama menjaga Pancasila.
Cholil awalnya berbicara mengenai perhatian masyarakat yang lebih banyak fokus pada pandemi virus Corona (COVID-19) dibanding isu tentang RUU HIP. Cholil mengatakan semua ormas Islam sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum.
"Semua ormas Islam sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Bahwa RUU Haluan Ideologi Pancasila perspektifnya dan tafsirnya tak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Ia punya haluan sendiri yang berbeda dengan pokok-pokok haluan Pancasila yang original," kata Cholil dalam keterangan tertulis, Rabu (17/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cholil pun menjelaskan mengenai tiga hal pokok yang fatal dari RUU tersebut. Salah satunya dia menyinggung soal konsideran yang tak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme.
Tonton video 'Pemerintah Minta Pembahasan RUU HIP Ditunda':
Berikut pernyataan lengkap Cholil Nafis:
MENEGUHKAN INDONESIA BERDASARKAN PANCASILA YANG ASLI
Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila menuai polemik tak kalah seru dari masalah pandemi Covid-19. Masyarakat seakan lupa tentang penyakit mematikan sehingga lebih banyak fokus pada soal RUU yang akan mematikan dasar negara Indonesia.
Semua ormas Islam sepakat bahwa RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Bahwa RUU Haluan Ideologi Pancasila perspektifnya dan tafsirnya tak sesuai dengan dasar negara Indonesia. Ia punya haluan sendiri yang berbeda dengan pokok-pokok haluan Pancasila yang original. Ada tiga hal pokok dan mendasar yang fatal dari RUU tersebut. Yaitu:
Pertama, Konsideran itu tak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme. Padahal inilah dasar utama dalam membicarakan bagaimana pancasila menjaga titik persatuan dan menolak kekejamam.
Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah dimana Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme. Peristiwa itulah yang melahirkan peringatan hari kesaktian Pancasila. Itulah sejarah bangsa yang mempertahankan ideologi Pancasila sebagai titik temu (kalimatu sawa') para anak bangsa.
Kedua, RUU HIP pada pasal 7 ayat 2 berbunyi, "....ketuhanan yang berkebudayaan". Frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan provan.
Frase itu pasti tak akan berujung polemiknya. Sebab umat Islam yang telah rela menghapus Piagam Jakarta saat pendirian bangsa ini tak akan rela melepaskan kata sakral di sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler.
Ketiga, memeras Pancasila menjadi tri atau ekasila menjadi bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya. Sebab negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik. Bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
Padahal negara ini meliputi banyak hal untuk dijiwai oleh Pancasila, bhinneka dari aspek keagamaan, kesukuan dan kemasyarakat menjadi tunggal ika. Aspek pertahanan dan keamanan harus dijiwai oleh Pancasila. Bahwa tak sejengkal pun negeri ini tak boleh dicaplok dan dikuasai oleh negara lain. Kedaulatan negara dan seisi alam kekayaannya harus dikuasai oleh negara.
Akibat ketidakcakapan drafting RUU HIP dalam melihat dan merasakan denyut nadi kebangsaan Indonesia dan pokok-pokok isi Pancasila maka telah memancing gejolak umat dan ormas Islam. Semua ormas mendeklarasikan penolakan draft RUU HIP ini dengan berbagai argumentasinya. Bahkan pemerintah melalui suara Menko Polhukam punya persepsi yang sama untuk mengubah dan mungkin bahkan menolaknya jika RUU itu hendak akan diteruskan dalam pembahasan.
Saya pribadi berpendapat, bahwa yang namanya RUU itu pasti tidak sempurna dan pada saat pembahasannya pasti akan mengalami banyak perubahan. Sekarang saja yang masih dalam pembahasan RUU telah mendapat tanggapan dari pihak DPR yang berinisiatif mengajukan Rancangan Undang-Undang HIP ini sudah membuka diri untuk memasukkan TAP XXV/MPRS/1966 ke dalam konsideran RUU HIP, menghapus pasal 7 dan mengubah pasal-pasal lain yang perlu disesuaikan.
Namun RUU HIP ini sudah memancing kecurigaan antar anak bangsa sehingga berpotensi jadi perpecahan, urgensinya pun belum pada taraf dharurut karena kita sudah punya perangkat konstitusi dan beberapa TAP MPR yang bisa menjadi acuan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Maka RUU HIP ini seharusnya ditunda pembahasannya atau sama sekali dihapuskan pembahasannya di masa yang akan datang.
Perlu langkah konsolidasi antar anak bangsa untuk bersama menjaga NKRI berdasarkan Pancasila dan menolak ideologi lain seperti komunis dan marxisme. Dalam waktu dekat seluruh komponen bangsa perlu melakukan pertemuan. Seperti NU, Muhammadiyah dan antara ormas Islam dengan pemerintah untuk membangun soliditas menjaga persatuan dan merawat negara berdasarkan Pancasila.
Ttd
M Cholil Nafis
Pengasul Pesantren Cendekia Amanah, Depok