Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan sejumlah prediksi mengenai situasi internasional dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Prediksi tersebut mulai menguatnya politik sayap kanan hingga perlunya memperkuat keamanan siber.
Hal ini diperoleh Retno dari hasil temuan riset dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian (BPPK) Kementerian Luar Negeri. Retno mengawali penjelasannya dengan berbicara tentang situasi dunia setelah pandemi COVID-19 yang penuh dengan ketidakpastian.
"Nah, pada masa pre-COVID-19 kita sering mendengar bahwa situasi dunia dipenuhi ketidakpastian. Maka pada masa COVID dan post-COVID ketidakpastian ini semakin menjadi sebuah keniscayaan. Nah, Ibu-Bapak, saya ingin hasil riset yang dilakukan oleh teman-teman BPPK. BPPK Kemlu itu litbang. Namanya, terhadap situasi atau bentuk hubungan internasional yang kira-kira akan terjadi 5 tahun mendatang," kata Retno dalam diskusi virtual bertajuk 'Tren Geopolitik Dunia di Tengah COVID-19' pada Jumat (12/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Poin pertama yang disampaikan Retno adalah tentang menguatnya politik sayap kanan di sejumlah negara. Kondisi ini, kata Retno, akan melemahkan multilateralisme.
"Yang diperkirakan akan terjadi, pertama, semakin menguatnya right wing politics, yang antara lain ditandai dengan conservatism, nationalism, reactionism. Kecenderungan ini akan semakin melemahkan multilateralism dan regionalism. Dan sejumlah negara bahkan saat ini sudah mempertanyakan manfaat globalisasi dan integrasi kawasan," ujar Retno.
Kemudian Retno memprediksi politik transaksional akan semakin kuat. Menurutnya, hal ini juga akan berpengaruh terhadap tingkat ketidakstabilan dan ketidakadilan di sebuah negara.
"Yang kedua, semakin meluasnya transactional politics. Right wing politics masih memungkinkan terjadinya kerja sama internasional, namun akan lebih didasarkan pada transactional politics, yaitu complementarity among core national interest, itu sebagai pijakan sekalipun kadang-kadang hal ini dicapai di expense of rule based order," ujar Retno.
"Nah, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga rule based order karena, sekali lagi, ketidakadaan atau the absence of rule based order, maka potensi ketidakstabilan dan ketidakadilan akan meningkat," imbuhnya.
Selain itu, Retno memperkirakan negara-negara di dunia ke depan akan semakin mengurangi ketegantungannya terhadap negara lain. Retno juga berharap hal yang sama dilakukan oleh Indonesia agar bisa memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber daya alam sendiri.
"Yang ketiga, akan terjadi semakin meluasnya self-help. Jadi Ibu-Bapak, melemahnya rule based order sebagai bagian dari new normal akan menyulut self-help mechanism yang berbasis unilateralisme. Jadi prinsipnya, setiap negara berusaha mengurangi ketergantungan terhadap negara lain dan keadaan ini mendorong negara dunia untuk mengoptimalkan semua kapasitas nasional masing-masing, baik berupa sumber daya alam, teknologi, sumber daya manusia," ujar Retno.
Terakhir, Retno memprediksi soal potensi ketidakstabilan global yang semakin besar. Masalah yang akan dihadapi ke depan bakal semakin kompleks.
"Nah, yang keempat risikonya, diperkirakan dapat menimbulkan potensi instabilitas global yang semakin besar dan mekanisme keamanan global sudah akan pasti lebih complicated," ujar dia.
Dia lantas menyoroti soal perkembangan teknologi informasi. Menurut dia, perkembangan dunia teknologi itu juga membawa tantangan terkait keamanan siber.
"Jadi negara dunia akan dipacu untuk meningkatkan kapasitas teknologi informasi. Nah, dengan demikian, penguasaan teknologi menjadi sangat penting artinya dan yang berarti juga manajemen keamanan komunikasi. Saya ingin menggarisbawahi faktor keamanan komunikasi, tantangan keamanan siber ini harus menjadi perhatian kita semua," tutur Retno.