Pakar epidemiologi menyarankan agar pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak dilakukan sebelum Indonesia mencapai puncak pandemi virus Corona. Pelonggaran PSBB dinilai akan membuat jumlah kasus semakin tinggi dan meningkatkan risiko kematian.
"(Pemerintah) siap-siap aja, siap-siap nanti banyak yang masuk rumah sakit. Banyak kasus kan, kasus masih banyak yang terus meningkat kan. Padahal kita udah punya orang-orang, Menko Perekonomian udah punya agenda sendiri tanggal sekian mau bikin ini, tanggal sekian mau buka ini, gitu kan. Bisa saja itu nanti antara harapan dan kenyataan berbeda," kata pakar epidemiologi UI Pandu Riono saat dihubungi, Jumat (22/5/2020).
"Kalau menurut saya sih (pelonggaran PSBB) indikatornya harus indikator kesehatan, kasusnya menurun dulu baru boleh dibuka. Ini kan belum ada tanda-tanda penurunan," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dihubungi terpisah, epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Laura Navila Yamani mengatakan kebijakan PSBB yang tidak diindahkan oleh masyarakat berpotensi semakin menambah kasus baru virus Corona. Padahal, puncak pandemi bisa dicapai jika kasus COVID-19 mulai melandai.
"Jika kebijakan PSBB tidak diindahkan oleh masyarakat Indonesia sebagai upaya pembatasan pergerakan manusia untuk memutus penularan COVID-19, maka akan berpotensi kasus terus naik dan puncak pandemi menjadi tinggi, kasus tinggi. Ini berarti akan semakin banyak orang yang terinfeksi akan membutuhkan layanan kesehatan. Padahal fasilitas kesehatan terbatas dan tenaga medis pun juga terbatas. Ini bisa memperburuk kondisi dan kasus kematian meningkat," ujar Laura.
Menurut Laura, masyarakat seharusnya memahami penerapan PSBB sehingga terjadi penurunan kasus secara konstan. Jika tidak, Laura menyebut ada potensi lonjakan kasus saat puncak pandemi nanti.
"Sehingga jika penurunan kasus ini konsisten beberapa lama baru bisa melakukan pelonggaran PSBB. Yang ada masyarakat kita banyak yang tidak patuh imbauan yang ada di dalam penerapan PSBB," jelas Laura.
"Nah bisa jadi tidak akan diketahui puncak pandeminya dan berpotensi puncak pandemi kemungkinan dicapai dengan kasus tinggi, karena banyak masyarakat yang tidak menerapkan protokoler kesehatan di saat pandemi ini," lanjut dia.
Simak video Pak Anies, PSBB di Jakarta Dilanjutkan atau Tidak?:
Sementara itu, pakar epidemiologi dari UGM Riris Andono Ahmad menyoroti pentingnya implementasi kebijakan yang konsisten dari pemerintah untuk bersiap menghadapi puncak wabah virus Corona ini. Menurutnya, perlu ada tindakan tegas bagi masyarakat yang tidak mematuhi anjuran pemerintah.
"Seharusnya melakukan implementasi secara konsisten. Ya itu kebijakan social distancing maupun PSBB diimplentasikan dengan konsisten. Setiap pelanggaran ditindak dengan tegas, kepastian hukum ditegakkan," kata Riris.
Seperti diketahui, penambahan kasus positif virus Corona di Indonesia hampir mencapai 1.000 kasus pada Kamis (21/5) kemarin namun turun kembali pada Jumat (22/5). Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menilai hal itu bukan pertanda Indonesia sedang menuju puncak kurva Corona.
"Kalau menurut saya tidak begitu kondisinya," kata Wiku kepada detikcom, Jumat (22/2).
Untuk mengetahui puncak Corona dalam skala nasional, maka perlu pula menganalisis puncak Corona di berbagai daerah. Dia menjelaskan, saat ini berbagai daerah sedang berbenah diri untuk melaksanakan penanganan kasus Corona. Maka terlalu dini bila puncak kasus Corona disimpulkan untuk sekarang, karena daerah-daerah masih berbenah.
"Pada saat ini kurang tepat melihat (puncak) angka nasional karena tiap daerah (rumah sakit, laboratorium, Puskesmas, dll) sedang membenahi diri. Pada saat selesai berbenah nanti, barulah akan terlihat data riilnya. Dari situ, baru kita ikuti bagaimana trennya dan kapan puncaknya. Setelah semua daerah bagus, baru kita bisa lihat tren nasional," tutur Wiku.