Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan virus Corona tidak akan hilang, penemuan vaksinnya juga masih lama. Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) berpendapat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak perlu dicabut, melainkan dilonggarkan atau diketatkan saja sesuai perkembangan wabah di suatu wilayah.
"Pembatasan sosial ini mungkin tidak akan pernah dicabut," kata epidemiolog FKM UI Pandu Riono dalam webinar publik Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rabu (20/5/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pandu lebih memilih menyebut istilah 'pembatasan sosial' ketimbang PSBB karena tidak semua daerah menerapkan PSBB yang mensyaratkan izin dari Kementerian Kesehatan. Justru, menurut Pandu, pembatasan sosial berbasis kesadaran komunitas lebih efektif ketimbang PSBB.
"Ini perlu dipertahankan supaya pembatasan sosial nantinya berbasis komunitas," kata Pandu.
Baca juga: Keajaiban Bali Hadapi Pandemi |
Belakangan ini, terjadi keriuhan penggunaan istilah terkait PSBB, yakni pelonggaran PSBB atau pengurangan PSBB. Menurut Pandu, istilah 'pelonggaran' lebih tepat digunakan. Bila nanti kondisi suatu wilayah sudah benar-benar layak untuk dilonggarkan, maka pembatasan sosial perlu dilonggarkan. Namun bila di kemudian hari wilayah tersebut kembali dilanda wabah COVID-19, pembatasan sosial perlu diperketat kembali.
"Dalam keadaan kita belum mengakhiri pandemi, kita akan banyak sekali melakukan pengetatan dan pelonggaran," kata Pandu.
Indikator pembatasan sosial bisa dilonggarkan bukan ada pada kejenuhan masyarakat terhadap PSBB, bukan pula terletak pada kaum pebisnis yang sudah kesulitan ekonomi. Indikator pelonggaran dan pengetatan pembatasan sosial ada pada kriteria epidemiologi, kesehatan publik, dan fasilitas kesehatan.
Pelonggaran disarankannya tidak serta merta dilakukan langsung ke kondisi seperti sebelum adanya wabah. Pelonggaran harus dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada skor kriteria-kriteria epidemiologi, kesehatan publik, dan ketersediaan fasilitas kesehatan.
Tim FKM UI mengusulkan sistem skor sebagai indikator pelonggaran PSBB. Skor tertinggi (75-100) akan mendapat indikator warna hijau, skor menengah (50-74) akan mendapat indikator warna kuning, dan skor akhir terendah (0-48) akan mendapat indikator warna merah.
Penilaian itu digunakan untuk mengukur aspek epidemiologi berupa tren pasien dalam pemantauan (PDP), tren kasus positif, dan tren kematian, apakah semua itu fluktuatif, menurun, atau naik. Aspek kedua adalah aspek kesehatan publik meliputi tren jumlah tes PCR dan proporsi di rumah saja. Aspek fasilitas kesehatan meliputi jumlah ventilator dan APD. Tiga aspek itu, yakni epidemiologi, kesehatan publik, dan fasilitas kesehatan harus dinilai untuk memutuskan pelonggaran atau pengetatan PSBB.
Aktivitas individu, aktivitas sosial-keagamaan, aktivitas ekonomi, dan aktivitas pendidikan perlu dinilai secara cermat untuk memutuskan apakah semua aspek itu perlu dilonggarkan atau diketatkan pembatasan sosialnya.
"Ini sangat dinamis, sehingga kita sebenarnya tidak akan mencabut pembatasan sosial dalam pengertian sesungguhnya, karena kita terus melakukan pengetatan dan pelonggaran," tutur Pandu.