Seperti biasa, setiap tahun, Ramadan datang membawa susana batin yang sublim. Sungguh menakjubkan. Menghentak kesadaran terdalam. Mematahkan mitos ketakutan pada setan. Berkejar-kejaran dengan ribuan malaikat di malam Laylatul Qadar. Berasa berada di tengah-tengah para Sahabat Nabi yang mulia. Menyimak Baginda Rasul bertutur soal Ramadan.
Seperti derap para bidadari turun dari langit, dikisahkan, Ramadan mengepakkan sayapnya ke tengah-tengah ummat Islam. Nabi tersenyum lebar, selebar kepakan serbannya saat mengulurkan semua kebaikan yang beliau miliki. Menurut riwayat, setiap Ramadan tiba, sifat kedermawanan Nabi melebihi hembusan angin. Menyaput semua benda di hadapannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itulah satu keping gambaran magi Ramadan, sehingga Nabi SAW--seorang yang sudah diampuni Allah kesalahan masa lalu dan kesalahan masa depannya-- saja, bersuka ria menyambut Ramadan. Sebab apa ? Sebab, semua ibadah di bulan ini menjadi istimewa. Siapa berpuasa dan qiyamul layl di bulan ini, akan dapat ampunan Allah. Siapa melakukan tathowwu', pahalanya sama dengan fardu di luar Ramadan.
Semua istimewa karena keistimewaan Ramadan. Semakin istimewa karena diistimewakan oleh Yang Maha Istimewa, Allah SWT. Demikian istimewanya, hingga Allah sendiri yang menyatakan hak milik atas ibadah puasa. "Kepemilikan" Allah atas suatu ibadah, belum kita temukan pada ibadah mahdah lainnya. Namun begitu, masing-masing ibadah, mengandung keistimewaan yang berbeda-beda.
"Puasa itu milik-Ku dan Akulah yang akan memberi balasan pahalanya," demikian riwayat yang sampai kepada kita. Begitulah bentuk pengakuan Allah akan ibadah puasa, terlebih puasa di bulan suci, Ramadan. Keistimewaan Ramadan berimbas kepada ibadah lain yang dilakukan di bulan ini. Contoh ; salat itu istimewa. Allah memerintah Nabi SAW, datang langsung "menemui-Nya" lewat Baytul Ma'mur, untuk menjemput perintah salat.
Tapi, salat kian istemewa, kalau ibadah yang disyariatkan lewat peristiwa Isro Mi'roj itu, dilakukan di bulan Ramadan. Demikian juga ibadah lainnya ; Ramadan jadi stempel sebuah ibadah bertambah istimewa. Karena itu, kaum muslimin muslimat berlomba melakukan semaksimal mungkin ibadah-ibadah seperti salat tarawih, i'tikaf, tadarrus dan murojaah Alquran.
Tapi ada satu ibadah yang sangat disukai Allah, terlebih dilakukan di bulan Ramadan. Alkisah, demikian dalam salah satu kitabnya, "Mukasyafatul Qulub", Imam Ghazali menceritakan munajat Nabi Musa Bin Imran kepada Tuhan. Dalam dialog itu, Tuhan menyapa Musa. "Musa, banyak benar ibadahmu. Yang mana kau persembahkan untuk-Ku ?"
Sudah barang pasti, Musa kaget. Tercekat, tak menyangka Tuhan bertanya seperti itu. Semua dia lakukan untuk Tuhan. Semua miliknya adalah milik-Nya. Bahkan, dirinya adalah milik-Nya. Salatnya untuk Tuhan. Demikian juga dzikirnya, kurbannya, hajinya, umrohnya. Semuanya fardhan lillaahi taaala -- فَرْضًالِله تَعَالى. Semuanya sunnatan lillaahi talaan -- سُنَّةً لِله تَعَالَى.
Tuhan menukas, itu semua untuk Musa. Allah SWT menjawab, "Salatmu, membuat engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Maka, salat itu untuk keperluanmu. Dzikirmu juga untuk dirimu. Karena dzikir membuat hatimu menjadi tenang. Puasamu itu hanya untukmu saja. Karena puasa melatih diri dan mengekang hawa nafsumu. Kurbanmu berguna menjinakkan nafsumu."
Musa tersungkur. Memohon Allah menunjukkan, ibadah yang bisa dia lakukan sebagai persembahan untuk Tuhan. Ibadah yang membuat Tuhan senang. Kemudian Allah SWT menjawab, "Sedekah ! Tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang kesusahan dengan sedekah, sesungguhnya aku berada di sampingnya".
Tuhan senang, karena ibadah memberi, berkonsekuensi pada terciptanya wasilah bagi berlanjutnya kehidupan. Kehidupan secara fisik dan lebih-lebih hidup secara ruhani. Sebab, ada faktor musyaarokah --keterlibatan, makhluk ketika Tuhan bertitah mempertahankan hidup seseorang. Sulit menemukan reasoningnya , setelah wahyu terputus, manusia dapat dengan mudah bisa memahami makna metafor bagaimana "Tuhan memberi makan."
Persis ketika Tuhan memberi hidup kepada bayi, dengan cara mendapat asupan air susu dari ibunya. Air susu itu, Allah yang menyediakan pada setiap perempuan menyusui. Nah, ketika sedekah menjadi wasilah terjadinya proses pemberian syarat seseorang bisa melanjutkan hidupnya, di situlah Allah menunjukkan kesenangan-Nya.
Mari belajar dan terus membiasakan diri memberi, karena Allah Maha Pemberi. Allah Maha Pengasih. Mengasihi siapa saja tanpa syarat. Semua makhluk, pelaku ketaatan atau pelakuka kemaksiatan, sama sama memperoleh asupan kehidupan. Kita bisa terus hidup di jalan Allah dengan cara menjadi perantara keberlanjutan hidup orang lain di sekitar kita.
Allahu A'lamu Bishshowaab...
Ishaq Zubaedi Raqib adalah Pengasuh Pengajian "Bayt Abyadh", Pasirangin, Cileungsi, Bogor,-
*Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab sepenuhnya pengirim.
(erd/erd)