Bulan Ramadhan menjadi bulan spesial dan penuh berkah. Di bulan ini umat muslim menjalankan ibadah puasa, tarawih dan memperbanyak tadarus.
Perintah untuk berpuasa juga tertuang dalam Al Qur'an dalam surat Al Baqarah ayat 183:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Arab- latin: yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Akan tetapi tidak semua orang memiliki kondisi fisik yang prima untuk berpuasa. Ada kondisi tertentu di mana, seorang muslim boleh membatalkan puasanya dan menggantinya di lain hari atau mengganti dengan membayar fidyah.
Berikut 6 kondisi yang diperbolehkan untuk membatalkan puasa:
1. Sakit
Allah Swt berfirman:
"Dan siapa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain." (QS Al-Baqarah ayat 85).
Ibnu Hazm menyebutkan bahwa seluruh ulama sepakat (ijma') bahwa mereka yang sakit boleh untuk tidak berpuasa. Namun tidak semua bentuk sakit bisa menjadi alasan diperbolehkannya berbuka. Ada kriteria sakit yang diperbolehkan berbuka:
- Sakit yang dikhawatirkan karena berpuasa ia akan bertambah parah.
- Atau sakit yang dikhawatirkan karena sebab puasa akan terlambat sembuhnya.
Dikutip dalam buku berjudul 'Batalkah Puasa Saya?' karya Muhammad Saiyid Mahadir, Lc. MAg, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani mengatakan:
"Ada tiga keadaan sakit: Pertama jika penyakit diprediksi kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderitanya makruh untuk berpuasa. Ia diperbolehkan tidak berpuasa.
Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi atau kuat diduga kritis, atau kondisi kritisnya dapat menyebabkan kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa. Ia wajib membatalkan puasanya.
Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.
Adapun jika sakit yang dimaksud menahun di mana kemungkinan untuk sembuh sudah susah, terlebih jika penderita sudah tua, maka dalam Al Qur'an dijelaskan:
"Bagi mereka yang tidak mampu, maka boleh tidak berpuasa dengan keharusan memberi makan kepada orang-orang miskin." (QS. Al-Baqarah: 184)
2. Musafir
Allah Swt berfirman:
"Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan makan menggantinya di hari lain." (QS Al-Baqarag: 184)
Bolehnya berbuka bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh tersebut didukung dengan data bahwa dahulunya nabi dan sahabat juga pernah berbuka karena alasan safar ini.
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Saw pergi menuju Makkah dalam bulan Ramadhan dan beliau berpuasa. Ketika sampai di daerah Kadid, beliau berbuka yang kemudian orang-orang turut pula berbuka." (HR. Bukhari)
3. Hamil dan Menyusui
Diperbolehkan untuk tidak berpuasa bagi ibu hamil dan menyusui didasarkan kepada hadits Rasulullah Saw berikut:
"Sesungguhnya Allah azza wajalla meringankan musafir dari berpuasa, mengurangi (rakaat) sholat dan meringankan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui." (HR. Ahmad)
4. Lanjut Usia
Seseorang yang sudah lanjut usia dan memang sudah tidak kuat untuk berpuasa diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Atas mereka berlaku ayat:
"Bagi mereka yang tidak mampu, maka boleh tidak berpuasa dengan keharusan memberi makan kepada orang-orang miskin." (QS. Al Baqarah: 184).
5. Pekerja Berat
Saat menjelaskan perihal sakit dan para pekerja berat, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani menuliskan status hukumnya dengan penderita sakit adalah buruh tani, petani tambak garam, buruh kasar dan orang-orang dengan profesi seperti mereka sama dengan orang sakit. Artinya kondisi pekerja berat itu tidak serta merta dari awal sudah boleh berbuka. Jika terdapat kondisi tertentu yang kritis membuat mereka celaka barulah boleh berbuka.
6. Wanita Haidh dan Nifas
Sama seperti sholat, puasa juga wajib ditinggal sementara oleh wanita yang sedang haid atau nifas, hanya saja atas kedua wajib mengganti (meng-qadha) puasa yang ditinggalkan tersebut pada hari-hari lain selain Idul Fitri.
Rasulullah Saw bersabda:
"Dahulu di zaman Rasulullah Saw kami mendapatkan haidh. Maka kami diperintahkan untuk mengganti puasa." (HR. Muslim).