Jakarta -
Lima terdakwa kasus makar, yakni Paulus Surya Anta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Anes Tabuni, dan Arina Elopere divonis hukuman 9 bulan pidana penjara. Kasus makar tersebut terkait pengibaran bendera Bintang Kejora saat aksi di depan Istana Negara pada Agustus 2019.
"Mengadili, satu menyatakan terdakwa I Paulus Surya Anta Ginting, terdakwa II Charles Kossay, terdakwa III Ambrosius Mulait alias Ambo, dan terdakwa IV Isay Wenda telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melalukan pidana makar secara bersama sama sebagaimana dakwaan kesatu," kata hakim ketua Purwanto di PN Jakarta Pusat, Jl Bungur Raya, Jakarta Pusat, Jumat (24/4/2020).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa I Paulus Surya Anta Ginting, terdakwa II Charles Kossay, terdakwa III Ambrosius Mulait alias Ambo masing-masing dengan pidana penjara selama 9 bulan dan terhadap terdakwa IV Isay Wenda selama 8 bulan," ujarnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para terdakwa diadili secara terpisah. Paulus Surya Anta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Anes Tabuni, dan Arina Elopere divonis hukuman 9 bulan pidana penjara. Sementara itu, satu terdakwa lainnya, Isay Wenda, divonis lebih ringan, yakni 8 bulan pidana penjara.
Para terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP. Hakim menilai unsur-unsur dalam pasal tersebut telah memenuhi unsur perbuatan makar.
Adapun hakim dalam pertimbangannya mengatakan memang benar telah terjadi peristiwa diskriminasi terhadap suku bangsa di Surabaya pada Agustus 2019 yang sempat menggoyang kestabilan nasional akibat tersebarnya secara cepat informasi secara elektronik tanpa terfilter sehingga menyebabkan gelombang aksi yang memprotes agar pelaku diusut.
Hakim mengatakan pada dasarnya kebebasan berekspresi dan berpendapat dilindungi konstitusi dan hal ini adalah ciri negara demokrasi. Akan tetapi, perlu digarisbawahi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat harus dalam koridor hukum yang tidak bertentangan dengan ideologi dan perundang-undangan yang berlaku dan harus dilakukan secara tertib dan tidak mengganggu ketertiban umum.
"Akan tetapi majelis memandang, apabila cara yang dilakukan adalah cara inkonstitusional, antara lain peserta melakukan demo dan mengibarkan bendera Bintang Kejora yang merupakan simbol pengakuan anti-Merah-Putih, anti-keindonesiaan, yang mana dilakukan sambil menari di antara peserta yang meneriakkan Papua merdeka dan Papua bukan Merah-Putih, serta meneriakkan referendum dan Papua merdeka, tentunya hal ini adalah sikap pengingkaran terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata hakim.
Hakim memandang bendera sebagai satu simbol yang disepakati warga negara dan merepresentasikan suatu negara. Sementara itu, bendera Bintang Kejora merupakan sengaja dibuat untuk membedakan dari NKRI.
"Dengan demikian, negara melalui konstitusi dan perundang-undangan oleh karenanya sebagaimana khalayak memandangnya baik masyarakat lokal yang hidup di Pulau Papua maupun umum di luar Papua telah mengetahui bahwa bendera Bintang Kejora adalah bendera yang sengaja dibuat untuk membedakan diri dari NKRI dan sejatinya Indonesia tidak mengenal negara bagian yang disimbolkan dengan bendera negara," katanya.
Kemudian, dari fakta-fakta persidangan, majelis juga mencermati perbuatan terdakwa saat aksi di depan Istana Negara pada tanggal 28 Agustus yang dihadiri para terdakwa. Terdakwa telah turut memegang bendera Bintang Kejora yang dipegang secara bergantian dengan aksi massa lainnya. Selain itu, mereka menghiasi wajah sendiri dengan motif Bintang Kejora, serta ikut menari dan menyanyi dan meneriakkan yel-yel Papua Merdeka dan Papua bukan Merah-Putih dan meneriakkan referendum serta Papua merdeka secara bersamaan.
Sementara itu, dalam KUHP secara jelas menyatakan, untuk menduga pelaku tindak pidana makar, cukup disyaratkan syarat sederhana, yaitu adanya niat pelaku dan niat itu telah ada tindakan permulaan pelaksanaan. Oleh karenanya, hakim menilai perbuatan terdakwa terbukti melakukan makar meskipun tidak adanya serangan.
"Maka dengan memperhatikan secara saksama aksi pada 28 Agustus di depan Istana adalah tergolong perbuatan makar yang mana bentuk makar ini tidak perlu dipandang sebagai bentuk serangan fisik dengan menggunakan senjata dan psikis ataupun teror, tapi bentuk sikap perilaku yang tidak mengakui keutuhan NKRI secara verbal dan simbol," kata hakim.
Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum terdakwa, Oky Wiratama, menilai putusan hakim itu ragu-ragu. Menurutnya, jika hakim ragu-ragu, seharusnya terdakwa diputus bebas. Pihaknya masih berpikir untuk mengajukan banding atas vonis tersebut.
"Menurut saya, hakim dalam pertimbangannya ragu-ragu. Harusnya, ketika hakim ragu-ragu, terdakwa harus dibebaskan (asas in dubio pro reo). Karena dalam pertimbangannya hakim bilang bahwa kasus makar banyak pro dan kontra dan kasus ini membuka cakrawala berpikir majelis. Akhirnya hakim memberikan hukuman yang ringan," kata Oky.
Sebelumnya terdakwa Paulus Surya Anta Ginting, Charles Kossay, Ambrosius Mulai, Anes Tabuni, dan Arina Elopere dituntut 1 tahun 5 bulan. Sementara itu, terdakwa Isay Wenda dituntut 10 bulan dengan perintah para terdakwa tetap ditahan.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini