Mantan hakim konstitusi Prof Maria Farida Indrati mengkritik keras berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi COVID-19. Guru besar Universitas Indonesia (UI) itu juga menyoroti frasa 'COVID-19'
Menurut Maria, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sudah bermasalah secara fungsi keberlakuan. Seharusnya peraturan berlaku untuk waktu yang sangat lama, bukan sesaat. Tapi dalam perppu itu ditulis untuk menangani COVID-19.
"Apakah peraturan ini berlaku? Peraturan itu berlaku terus-menerus. Saya mengkhawatirkan yang soal mengatur ke depan (perppu-nya). Tapi di sana dikatakan untuk pandemi Corona. Bagaimana bila COVID-19 sudah selesai?" kata Maria dalam webinar 'Guru Besar Hukum Bicara Perlindungan Hukum bagi Warga Negara Saat Darurat COVID-19', Rabu (22/4/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain diikuti oleh Maria, webinar yang digelar Puskapsi Universitas Jember itu diikuti guru besar Universitas Jember Arief Amrullah dan Prof Dominikus Rato. Ikut pula bergabung menjadi pembicara guru besar Universitas Padjadjaran Prof Susi Dwi Harijanti.
Untuk mengantisipasi keberlakuan peraturan yang harus berlaku cukup lama, seharusnya tidak menyebut COVID-19, tapi cukup dengan frase 'wabah nasional'.
"Kenapa tidak pakai frase 'wabah nasional'? Sekarang perppu itu masih berlaku karena masih ada Corona. Tapi, bila COVID-19 selesai, bagaimana?" ujar Maria.
Maria juga mengkritisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). PP 21/2020 sebagai pelaksana UU tentang Wabah Penyakit Menular, UU Penanggulangan Bencana dan UU Kekarantinaan Kesehatan.
"Ada hal-hal yang menggelitik. Coba bayangkan, PP 21 Tahun 2020 melaksanakan 3 UU, tapi kok cuma jadi 7 pasal, yang intinya cuma 5 pasal. Apakah ini tepat atau tidak?" beber hakim konstitusi dua periode itu.
Perppu Corona Digugat, Mahfud: Masyarakat Tak Perlu Khawatir Bansos Mandek:
Menurut Maria, PP ini juga harusnya berisi banyak pasal dan aturan yang lebih luas mengatur PSBB. Karena mengatur PSBB, pijakannya seharusnya cukup UU Kekarantinaan Kesehatan saja.
"Lalu apakah PP boleh membuat sanksi pidana?" ujar Maria.
Sesuai peraturan yang berlaku saat ini, sanksi pidana hanya boleh diatur di UU dan perda. Di luar itu, cukup disanksi administrasi.
"Dalam Permenkes untuk PSBB DKI dkk, kemudian Gubernur bikin Permengub DKI. Boleh nggak Permengub pakai sanksi pidana? Dalam Permengub DKI ini, pelanggaran PSBB ini dikenai sanksi sesuai perundang-undangan, termasuk sanksi pidana. Termasuk pergub. Saat ini, di DKI masih banyak yang nggak pakai masker, berboncengan. Lalu bagaimana menyelesaikan masalah ini?" papar Maria.
Soal Larangan Mudik
Maria juga menyoroti soal larangan mudik yang dikeluarkan Jokowi. Dia mempertanyakan Jokowi akan melarang masyarakat untuk mudik dalam bentuk produk hukum seperti apa.
"Saya juga menunggu, apa yang akan dibentuk Presiden. Orang dilarang mudik, denga keputusan apa? Tampaknya Presiden sangat berhati-hati dalam hal ini," kata Maria.
Menurut Maria, Indonesia haruslah dipandang dengan berbagai negara lain dalam kasus Covid. Di berbagai negara yang menjadi rujukan kasus, umumnya adalah negara kontinental/daratan. Seperti Wuhan-China, Italia, Spanyol atau Amerika Serikat. Sehingga lockdown tidak mudah diterapkan di Indonesia.
"Adapun di Indonesia bersifat kepulauan. Indonesia banyak pintu masuk. PSB saja orang berlomba-lomba keluar Jakarta," ujar Maria.
Adapun menurut pakar hukum adat Prof Dominkus, hal di atas bisa dipahami karena masyarakat lebih suka bahasa tutur, dibandingkan dengan bahasa hukum. Sehingga, banyak kebijakan melalui imbauan dan sebagainya.
"Masyarakat kita masyarakat kultur tutur. Kita perlu mencari hukum yang mencerahkan, yang edukatif," ujar Dominikus.
Dalam kesempatan itu, Prof Arief Amrullah juga mempertanyakan peran Kementerian Sosial (Kemensos) dalam situasi Darurat Nasional Covid-19. Sebab, Kemensos dinilai tidak berperan maksimal sehingga nara pidana yang sedang menjalani masa asimilasi dan integrasi kembali berulah dengan alasan perut/ekonomi.
"Sehubungan dengan telah diluncurkannya Kebijakan Program Asimilasi dan Integrasi oleh Kemenkumham tersebut, yang dalam pelaksanaannya masih belum sepenuhnya sesuai harapan, sehingga mengundang untuk dipertanyakan, apakah kebijakan itu tidak dibarengi dengan kebijakan bantuan ekonomi, atau berkoordinasi dengan Kementerian Sosial?" kata Arief.
Menurut Prof Arief, program asimilasi dari Kemenkumham itu, sebaiknya juga dibarengi atau didukung dengan Program Jaring Pengaman Sosial khusus untuk para narapidana yang telah dikeluarkan dari LP. Sehingga bagi mereka yang mengulungi melakukan tindak pidana tidak ada alasan untuk mencari pembenaran atas tindak pidana yang dilakukan.
"Dengan demikian, adanya perpaduan antara pendekatan hukum pidana dengan pendekatan ekonomi," kata Arief menegaskan.