Seratus tahun lalu, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menerbitkan Influenza Ordonanntie atau undang-undang terkait penanganan influenza. Drafnya dibikin oleh Kepala Dinas Kesehatan Umum, Dr de Vogel, memakan waktu setahun dengan pro-kontra sana-sini. Namun akhirnya draf itu disahkan menjadi undang-undang pada 20 Oktober 1920 dan berlaku untuk kawasan Hindia-Belanda yang saat itu dipimpin Gubernur Jenderal Dirk Fock.
Berikut ini langkah-langkah penjajah Belanda dalam menangani wabah influenza, penyakit 'flu Spanyol' akibat virus H1N1, seratus tahun lalu:
1. Penelitian
Influenza mewabah pada 1918-1920 di Hindia-Belanda. Diperkirakan ilmuwan, penduduk Pulau Jawa dan Madura yang meninggal akibat virus H1N1 kala itu sekitar 4,26-4,37 juta orang, atau tertinggi ketiga di dunia.
Biasanya, orang yang sakit influenza itu diobati menggunakan pil kina. Dinas Kesehatan Rakyat (Burgerlijke Gezondheid Dienst) mengadakan penelitian untuk menemukan obat influenza.
Laboratorium kedokteran di Batavia kemudian menemukan ramuannya, yakni tablet penyembuh influenza. Tablet ini terdiri atas 0,250 aspirin, 0,150 pulvis doveri, dan 0,100 camphora. Dalam masa produksi pertamanya, hampir 100 ribu butir tablet ini dihasilkan dan kemudian dibagikan.
2. Pembagian masker
Bulan November 1918, pemerintah sudah membentuk tim yang berada di Kepala Dinas Kesehatan Rakyat. Tim ini difungsikan untuk menanggulangi penyebaran wabah influenza.
Mereka menemukan, virus influenza itu menular lewat udara. Maka dari itu, pemerintah kolonial kemudian mengeluarkan instruksi pembagian masker. Masker-masker itu diserahkan kepada warga yang tinggal di daerah terjangkit.
Priyanto Wibowo dkk menuliskan catatan mengenai masker ini berdasarkan referensi 'Koloniaal Verslag' atau 'Laporan Kolonial' untuk tahun 1920. Khasanah arsip ini merupakan pidato pertanggungjawaban Menteri Koloni sebagai wakil Ratu Belanda dalam sidang Parlemen Belanda (Staten Generaal) setiap tahun di Den Haag.
3. Propaganda
Pemerintah kolonial juga melakukan propaganda, atau masyarakat saat ini menyebutnya sebagai 'sosialisasi pemerintah'. Sosialisasi disampaikan hingga ke birokrasi desa dan kampung.
Materi sosialisasi berisi penjelasan-penjelasan tentang influenza, gejala-gejala, proses penularan, akibat-akibat, serta cara pencegahan dan penyembuhannya.
Salah satu sarana untuk menyalurkan informasi adalah melalui jalur kesenian. Pemerintah kolonial juga membuat instruksi kepada Direktur Pendidikan dan Agama (Onderwijs en Eeredients).
Buku pedoman tentang penyakit influenza juga diterbitkan dalam bahasa Jawa dan ditulis dalam huru Jawa, diterbitkan Balai Pustaka tahun 1920. Buku ini disusun dalam bentuk percakapan antara tokoh-tokoh wayang (punakawan).
Buku pedoman itu berjudul 'Lelara Influenza'. Buku ini memang bertema wayang, lebih cocok dibaca para dalang untuk disampaikan saat pementasan di desa-desa.
4. Imbauan 'isolasi mandiri'
Dalam buku 'Lelara Influenza' termuat imbauan 'isolasi mandiri'. Bagi yang sakit influenza diminta berdiam diri di rumah. Berikut bunyi imbauan dalam buku berbahasa Jawa terbitan 1920 itu:
- Influenza bisa mengakibatkan sakit panas dan batu, mudah menular, asalnya dari abu atau debu, berhati-hatilah jangan sampai bertindak ceroboh yang bisa mengakibatkan munculnya debu
- Orang yang terkena panas dan batuk tidak boleh keluar rumah, harus tidur atau istirahat saja. Badannya diselimuti sampai rapat, kepalanya dikompres, tidak boleh mandi.
Batavia, Hindia-Belanda (dok bataviadigital.perpusnas.go.id) |
5. Karantina kapal
Awalnya, pada April 1918, setelah melakukan pengamatan secara cermat, konsul Belanda di Singapura memberikan peringatan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia agar mencegah kapal-kapal dari Hong Kong merapat di dermaga Batavia dan menurunkan penumpang di sana. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Hong Kong telah dinyatakan terjangkit oleh influenza. Namun peringatan ini tak dihiraukan. Tiga bulan kemudian, muncul banyak laporan orang sakit influenza di Hindia-Belanda.
Kepala Dinas Kesehatan Umum, Dr De Vogel, kemudian menyusun draf undang-undang influenza berdasarkan peraturan karantina wilayah tahun 1911, yang saat itu terbit karena wabah pes. De Vogel mencurigai pelabuhan-pelabuhan kecil menjadi pintu masuk wabah influenza. Maka, kapal perlu dikarantina. Awak kapal yang hendak turun harus punya surat bebas influenza.
Banyak tentangan dari pihak perkapalan. Namun Panglima Angkatan Laut Laksamana WJG Umbgrove mendukung draf undang-undang influenza dari De Vogel. Direktur Kehakiman D Rutgers mengusulkan diberlakukannya pernyataan 'kondisi terjangkit influenza (drigende omstandigheden)' bagi suatu pelabuhan sebelum karantina kapal diberlakukan. Ini supaya nakhoda tidak kena pidana, melainkan tiap-tiap individu juga bisa kena pidana bila turun dari kapal tanpa surat bebas influenza.
Karantina kapal ini didasarkan atas influenza ordonnantie atau undang-undang terkait penanganan influenza yang sah tahun 1920.
Akhir pandemi
Akhir dari pandemi tidak dapat dipastikan. Kecepatan penyebaran virus menurun dengan sendirinya disebabkan oleh alasan yang belum dapat diuraikan dunia kesehatan.
Salah satu asumsi yang dikemukakan ialah timbulnya kekebalan tubuh manusia terhadap virus tersebut.