Anggota tim Advokasi Papua, Michael Hilman mengapresiasi putusan sela Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) terhadap terdakwa Mispo Gwijangge (MG) dalam kasus pembunuhan karyawan PT Istaka Karya di Kabupaten Nduga, Papua. Michael menyebut majelis hakim menyatakan menerima eksepsi yang diajukan tim penasihat hukum, sehingga terdakwa MG bebas.
"Tim Advokasi Papua, selaku kuasa hukum dari Sdr MG mengapresiasi putusan sela yang dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, yang mana dalam putusan sela, dalam perkara Nomor 1375/Pid.B/2019/PN.Jkt.Pst yang dibacakan pada tanggal 08 April 2020, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menerima Eksepsi Penasehat Hukum dari Sdr. MG," kata Michael, dalam keterangan press rilisnya, Rabu (8/4/2020).
Michael mengatakan putusan sela itu menyatakan dakwaan JPU tidak dapat diterima. Dengan demikian tuntutan terhadap terdakwa tidak dapat dilanjutkan dan MG dibebaskan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan menyatakan dakwaan Jaksa Penuntut Umum Nomor PDM/35/R.1.16/EKU.1/09/2019 tidak dapat diterima sehingga proses penuntutan tidak dilanjutkan dan MG dikeluarkan dari tahanan yang mana MG telah ditahan sewenang-wenang selama 333 hari," lanjut Michael.
Michael berharap dengan diterimanya eksepsi tim kuasa hukum terkait kasus ini dapat dijadikan pembelajaran bagi aparat penegak hukum (APH) untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Terutama APH yang berada di wilayah Papua dan Papua Barat.
Sebelumnya, MG didakwa dalam kasus pembunuhan karyawan PT Istaka Karya di Kabupaten Nduga, Papua. MG diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP; Pasal 338 KUHP; Pasal 351 ayat (3) KUHP; dan Pasal 333 KUHP yang mana ancaman pidana maksimal merupakan pidana mati.
Dalam perkara tersebut, Michael menilai ada proses peradilan yang tidak adil dikarenakan beberapa kejanggalan. Adapun beberapa kejanggalan itu, yaitu ketidakjelasan usia terdakwa MG yang hanya didasarkan oleh surat keterangan domisili diluar domisi.
Kejanggalan kedua, tidak adanya akses bantuan hukum yang memadai terhadap Sdr. MG baik pada saat proses penyidikan maupun pada saat proses pelimpahan berkas ke pihak kejaksaan. Ketiga, tidak adanya juru bahsa yang diberikan terhadap Sdr. MG dalam tingkatan Penyidik dan Kejaksaan. Serta proses pemindahan persidangan dari PN Wamena ke PN Jakarta Pusat yang kami nilai cukup tidak beralasan.
"Tidak diterimanya dakwaan JPU atas dakwaan terhadap Sdr. MG dalam Putusan Sela yang dibacakan oleh Majelis Hakim PN Pusat kami nilai tidak terlepas dari eksepsi yang kami ajukan yakni terkait dengan ketidakjelasan usia Sdr. MG," kata Michael.
"Terkait dengan ketidakjelasan usia tersebut, kami mengajukan agar Sdr. MG dilakukan proses pemeriksaan forensic gigi. Yang mana dalam proses pemeriksaan tulang dan gigi Sdr. MG yang diuji oleh Tim Kedokteran Gigi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung membuktikan bahwa usia Sdr. MG pada saat dilakukan pemeriksaan forensik pada 09 Maret 2020 berkisar 16 - 18,9 tahun atau rata-rata 17,5 tahun, sehingga jika ditarik mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada Desember 2018, maka usia Sdr. MG saat itu antara 15,5 tahun," ungkapnya.
Menurut Michael, ketidakhati-hatian aparat pencegah hukum tidak hanya terjadi dalam kasus Sdr. MG, terkait dengan penentuan usia terdakwa. Sebelumnya PN Jayapura pada 25 November 2019 juga pernah mengabulkan eksepsi dari Penasehat Hukum dalam perkara Sdr. IH terkait dengan insiden kerusuhan di Jayapura pada tanggal 29 Agustus 2019, dimana dalam putusan perkara Nomor 569/Pid.B/2019/PN.Jap mengabulkan eksespsi dari Penasihat Hukum Terdakwa terkait usia terdakwa.
Michael menilai dengan adanya putusan sela PN Jakpus terkait tidak diterimanya dakwaan JPU dalam kasus MG, menguatkan fakta sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal, terlebih bagi mereka yang dituntut dan divonis hukuman mati. Oleh karena itu Tim Advokasi Papua meminta agar kepolisian dan kejaksaan mengusut anggotanya yang diduga menyalahgunakan wewenang.
"Mendesak Kepolisian dan Kejaksaan melakukan pengusutan terkait dengan dugaan penyalahgunaan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya dalam menangani kasus Sdr. MG, termasuk terkait dengan indikasi dugaan pemalsuan terkait usia Sdr. MG," kata Michael.
Michael meminta lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan Ombudsman RI untuk lebih memaksimalkan kewenangannya dalam melakukan tindakan pengawasan terhadap kinerja-kinerja APH mulai dari tingkat penyidikan hingga pengadilan. Tim Advokasi Papua juga mendesak DPR untuk melakukan fungsi pengawasan dengan membentuk Pansus Khusus kasus-kasus unfair trial di Indonesia.
"Ketiga, mendesak Kejaksaan dan Mahkamah Agung melakukan kajian dan mengeluarkan kebijakan semisal Peraturan Mahkamah Agung (Perma) mengenai prinsip kehatian-hatian dalam penerapan hukuman mati dengan menjadikan kasus Sdr. MG sebagai salah satu bahan pembelajaran," ujarnya.