Sebanyak 47 hakim agung akan memilih satu di antara mereka menjadi Ketua Mahkmah Agung (MA) menggantikan Hatta Ali. Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki meminta kebesaran hati hakim agung yang cacat integritas untuk tidak mencalonkan diri menjadi Ketua MA.
"Di tengah-tengah masih rendahnya kepercayaan masyarakat kepada pengadilan termasuk MA, maka publik berhak menginginkan MA dipimpin oleh figur yang kuat membangunkan kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan. Kepercayaan publik itu wajib diperjuangkan oleh para hakim agung sebagai pemilih karena rakyat, bangsa dan negara ini berhak atas itu," ujar Suparman saat dihubungi detikcom, Rabu (1/4/2020).
Berdasarkan UU Mahkamah Agung, ke-47 hakim agung itu berhak memilih dan dipilih. Pemilihan itu akan digelar pada Senin (6/4) nanti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu pula hakim agung yang memiliki cacat integritas harus tahu diri, dan mengurungkan niatnya untuk nyalon. Kedepankan kepentingan institusi, rakyat, bangsa, dan negara di atas hasrat pribadi untuk berkuasa," ujar Suparman.
Namun, Suparman tidak menjelaskan siapa hakim agung yang dimaksud. Sebagai mantan Ketua KY, Suparman sudah selayaknya tahu rekam jejak para hakim agung.
"Pribadi-pribadi yang cacat sudah cukuplah bersyukur bisa menjadi hakim agung dan berjuang saja sungguh-sungguh untuk husnul khotimah dalam jabatan," cetus Suparman.
Senada dengan Suparman, anggota Koalisi Pemantau Peradilan Indonesia, Erwin Natoesmal Oemar berharap pemilihan Ketua MA itu dapat berjalan transparan dan demokratis. Erwin menyatakan masyarakat sipil harus ada dalam proses pemilihan yang dilakukan secara internal itu.
"Mempunyai kewaspadaan etika profesi yang tinggi. Oleh karena itu, calon Ketua MA harus mau berkolaborasi dengan Komisi Yudisial guna menyamakan standar etika profesi hakim," ujar Erwin.
Ketua MA yang baru juga harus melanjutkan warisan (legacy) beberapa kebijakan access to justice yang dilakukan Ketua MA yang lama. Juga tetap melanjutkan reformasi kelembagaan dan kapasitas hakim, seperti adanya proses mutasi dan promosi hakim yang transparan, berkelanjutan, dan terukur. Dan peningkatan pengetahuan hakim lewat mekanisme yang partisipatif dan terukur.
"MA harus menjadi rumah terbuka dan tidak alergi bagi siapa pun yang memberikan masukan dan catatan terhadap perbaikan institusi," pungkas Erwin yang juga Koordinator Public Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia itu.