Omnibus Law diprotes oleh banyak pihak, termasuk para aktivis dan LSM perempuan. RUU Cipta Lapangan Kerja ini disebut dapat merugikan para pekerja perempuan. Cuti hamil dan melahirkan yang tidak dijelaskan secara gamblang menimbulkan banyak perdebatan.
Dalam RUU Cipta Kerja, peraturan mengenai cuti hanya dipaparkan dalam pasal 79 di mana pekerja berhak mendapatkan cuti minimal 12 hari kerja. Namun, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah menjelaskan bahwa keduanya masih eksis dan berlaku meskipun tidak dibahas dalam RUU Cipta Kerja.
"Tidak semua pasal atau norma diatur ulang dalam RUU Cipta Kerja. Misalnya, tidak diaturnya cuti bagi perempuan yang haid dan melahirkan. Itu memang tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja dan tidak ada kata dihapus. Kalau tidak diatur ulang dan tidak dihapus, berarti norma yang ada di Undang-undang No 13 itu masih eksis," ungkap Ida dalam forum diskusi terkait Perlindungan Pekerja Perempuan dalam Omnibus Law di Menara Bidakara, Jakarta, Jumat (13/3/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu Ida juga menjelaskan Omnibus Law merupakan salah satu bentuk bagaimana merumuskan perlindungan kerja yang berkelanjutan. Perlindungan sosial antara pekerja tetap dengan pekerja waktu tertentu harus sama di mana keduanya berhak mendapat jaminan kecelakaan, jaminan kematian, hari tua, pensiun, dan kesehatan.
"Omnibus law itu tidak hanya berpikir bagaimana kesempatan kerja itu lebih luas, tapi juga berfikir bagaimana perlindungan pekerja itu diberikan secara berkelanjutan. Makanya yang masuk dalam Omnibus Law itu tidak hanya UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 saja tapi juga di dalamnya ada Undang-undang SJSN, dan BPJS," ujar Ida.
Dalam sosialisasinya, Ida menjelaskan terus melakukan dialog sosial. Dialog itu akan dilakukan dengan melibatkan serikat pekerja dan serikat buruh.
Selain Ida, hadir juga Sekretaris Ditjen PHI dan Jamsos Kemnaker Adriani dan Staf Khusus Menaker, Dita Indah Sari. Adriani menjelaskan bahwa yang diatur dalam RUU Cipta Kerja hanyalah bahasan makronya, sedangkan detail dari undang-undang akan diatur pada peraturan pelaksanaan.
"Diundang-undang itu makro-makronya saja kita atur, detailnya itu ada di peraturan pelaksanaannya nanti. Itu hanya garis besarnya, seperti waktu kerja nanti kita akan buat aturan detailnya. Itu hanya garis besarnya seperti waktu kerja nanti kita akan buat aturan detailnya," jelas Andiani.
Menurutnya, Undang-undang Ketenagakerjaan ini sangat dinamis, setiap hari mengalami perubahan. Itulah mengapa beberapa hal tidak dicantumkan dalam Undang-undang.
"Kita harus mengantisipasi apabila ada dinamika di ketenagakerjaan ini yang mengalami perubahan lagi di lapangan pekerjaan. Sehingga kita perlu merubah lagi aturannya. Nah, kalau Undang-undang itu sangat sulit untuk mengubahnya. Sementara pola-pola kerja berubah seiring kemajuan teknologi," tambahnya.
(prf/ega)