Totok memiliki pendapat bahwa kemungkinan memang nama naga siluman dipilih Pangeran Diponegoro tanpa menghubungkan dengan jenis dhapur-nya. Atau kemungkinan lain, pelukis Raden Saleh selaku penulis arsip, kurang memahami masalah keris.
"Bisa saja sebenarnya itu (dhapur) nagaraja tapi punya karena pengalaman yang ampuh, misalnya bisa menyelamatkan dari kepungan, supaya tidak kelihatan dari musuh, ya bisa saja keris itu dinamakan Naga Siluman. Seperti saya juga, keris ini kok berbeda dengan yang lainnya, saya beri nama ki apa, kyai apa," ujarnya.
Namun Totok mengaku enggan memperpanjang perdebatan tersebut. Dia mengajak semua pihak mengambil sisi positif dari kembalinya artefak kuno Indonesia yang ratusan tahun disimpan di Belanda.
Simpang siur soal keaslian keris Pangeran Diponegoro ini juga dimantapkan oleh Sri Margana. Srimargana adalah sejarawan sekaligus verifikator penelitian tentang Keris Kiai Naga Siluman.
"Saya sebagai verifikator ditugaskan memverifikasi apakah penelitian sejak 1984 hingga kemarin sudah akurat atau belum. Dengan mantap, saya bisa mengatakan bahwa mereka sudah cukup menghadirkan bukti arsip yang sangat kuat," kata anggota Tim Verifikasi Keris Pangeran Diponegoro, Sri Margana, kepada detikcom, Selasa (10/3/2020).
Penelitian sudah lama dilakukan. Selain Margana, ada empat peneliti dan satu tim verifikator dari Wina Austria yang turut serta mencermati benda pusaka ini. Ada pula dua empu (pembuat keris) asal Indonesia yang didatangkan ke Belanda untuk memeriksa keris itu.
Tiga keris diajukan para peneliti. Pada proses final, disimpulkan bahwa keris yang dibawa ke Indonesia itulah yang merupakan keris Pangeran Diponegoro berjuluk Kiai Naga Siluman. Arsip bersejarah membuktikannya.
"Arsip tulisan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo (Panglima Perang Diponegoro) ditemukan tahun 2017. Tulisan itu ditulis bulan Mei 1830, tak lama setelah Diponegoro ditangkap," kata Margana.
(rdp/tor)