Karena Diponegoro percaya Cleerens punya hati yang baik, maka Diponegoro bersedia menemui Cleerens di Remokamal (sekarang Purworejo, namun Peter menyebut lokasi itu ada di Banyumas) pada Februari 1830. Diponegoro dan Cleerens bernegosiasi damai di lokasi itu. Saat itulah, terjadi semacam 'gentlement agreement' antara keduanya, bahwa Perang Jawa akan diakhiri dengan damai. Peter Carey memperkirakaan pada momentum itulah Keris Kiai Naga Siluman diberikan oleh Diponegoro ke Cleerens, sebagai simbol kepercayaan yang tidak main-main.
Menindaklanjuti kesepakatan manis itu, Diponegoro bersedia menerima undangan Hendrik Merkus baron de Kock (Jenderal de Kock) di Magelang. Diponegoro masih percaya janji Cleerens, Perang Jawa akan berakhir dengan damai dan baik, kini tinggal ketemu de Kock saja, setelah itu beres. Padahal inilah awal petaka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Cleerens meyakinkan Diponegoro bahwa Belanda akan bertindak sesuai dengan apa yang dia janjikan. Seumpama negosiasi dengan de Kock tidak berkenan di hati Diponegoro, maka Diponegoro akan dipersilakan kembali ke Banyumas (tempat Diponegoro berlindung saat itu)," kata Peter.
Dalam kondisi puasa, berangkatlah Diponegoro ke Magelang pada akhir bulan jelang Idul Fitri untuk menemui De Kock. Dia ditangkap Belanda! Perang Jawa ternyata tidak berakhir dengan damai dan baik. Diponegoro dibuang ke Sulawesi. Peter Carey menilai pihak yang ingkar janji bukan Cleerens secara personal, karena Cleerens cuma alat, yang ingkar janji adalah Belanda.
"Akhirnya, Belanda bisa menangkap Diponegoro, perang bisa diselesaikan sekejap," kata Peter.
Cleerens kemudian pulang ke Belanda sambil membawa Keris Kiai Naga Siluman. Dia menyerahkan pusaka itu ke Raja Willem I (berkuasa 1813-1840) pada 11 Januari 1831.
![]() |