Ilustrasi: Edi Wahyono
Selasa, 10 Maret 2020Di tengah rencana kunjungan Raja dan Ratu Belanda, Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima, ke Indonesia pada 10-13 Maret 2020, ada kabar menggembirakan lainnya untuk Indonesia. Kabar tersebut adalah keris pusaka milik Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro bernama Kiai Nogo Siluman ditemukan dan dikembalikan pemerintah Belanda ke Indonesia. Padahal hampir 137 tahun keris itu tak diketahui keberadaannya di Belanda.
Museum Nasional Kebudayaan Dunia (National Museum Van Wereldculturen/NMVW) Belanda telah merilis penemuan keris Kiai Nogo Siluman yang sangat dicari itu. Bahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda Inggrid van Engelshoven sudah menyerahkan keris itu kepada Duta Besar RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja di Den Haag, Selasa, 3 Maret 2020. “Saya bahagia bahwa penelitian mendalam yang diperkuat ahli Belanda dan Indonesia untuk menemukan keris yang dicari-cari selama ini. Sekarang keris ini dikembalikan ke negeri asalnya, Indonesia,” kata Engelshoven dalam pertemuan itu.
Keberadaan keris Kiai Nogo Siluman memang sudah puluhan tahun dicari. Hingga akhirnya pihak NMVW melakukan penelitian kembali sejak 2017 hingga 2019. Penelitian itu dilakukan terhadap beberapa keris yang tersimpan di Museum Volkenkunde atau Museum Etnologi di Leiden. Keris-keris itu sudah tak terlacak catatan informasinya sejak tersimpan di museum itu pada 1884.
Adalah Pieter Pott, sebagai kurator dan Direktur Museum Volkenkunde, yang melakukan pencarian keris itu. Pencarian sebelumnya juga dilakukan oleh Prof Susan Legene dari Vrije Universiteit Amsterdam, Johanna Leifeldt (1917), dan Tom Quist (2019). Saat itu mereka menemukan tiga keris yang diduga milik Diponegoro. Tapi kedua keris yang ada dinyatakan bukan milik Diponegoro. Mereka lalu berfokus meneliti satu keris milik Diponegoro dan menemukan dokumen penting untuk memperkuatnya.
Dokumen pertama berupa surat korespondensi De Secretaris van Staat dengan Directeur General van Het Department voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies pada 11-15 Januari 1831. Keris itu dibawa utusan panglima militer Hindia Belanda Letnan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron van De Kock, yaitu Kolonel Jan-Baptist Cleerens, untuk diserahkan kepada Raja Belanda Willem I.
Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima
Foto: dok. Rijksvoorlichtingsdienst
Keris Kiai Nogo Siluman sebagai simbol kepemimpinan Diponegoro dibawa Cleerens dengan menumpang kapal laut 'Ons Genoegen' dari Batavia (Jakarta) ke Belanda pada 14 September 1830. Menurut surat kabar The Javasche Courant dan Opretage Haarlemsche Courant, Cleerens tiba di Roadstead Texel, Amsterdam, pada 29 Desember 1830. Pada 11 Januari 1831, keris itu diserahkan kepada Raja Belanda dan disimpan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKVZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik.
Tapi, pada 1883, KKVZ dibubarkan. Sejumlah koleksi benda bersejarah, termasuk keris Kiai Nogo Siluman, diserahkan ke Museum Volkenkunde. Sayangnya, ketika koleksi itu diserahkan, catatan katalog sejumlah koleksi, termasuk keris Diponegoro, hilang. Padahal keris tersebut sempat dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 1876, dan dalam katalog pameran disebutkan keris itu milik Diponegoro.
Dokumen kedua berupa surat kesaksian panglima perang Diponegoro, yaitu Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan disadur dalam bahasa Belanda pada 27 Mei 1830. Sentot menyebutkan melihat sang pangeran memberikan keris Kiai Nogo Siluman kepada Kolonel Cleerens. Dokumen ketiga adalah catatan keterangan Raden Saleh, pelukis Indonesia yang juga melukis kisah penangkapan Diponegoro, untuk memastikan keris Kiai Nogo Siluman itu.
Di hadapan Direktur KKVZ, SRP van de Kasteele, pada 17 Januari 1831, Raden Saleh, yang melihat langsung keris itu, menjelaskan makna serta ciri fisik keris Kiai Nogo Siluman. Kata ‘kiai’ adalah gelar penghormatan seperti kata ‘tuan’. ‘Nogo’ (naga) adalah simbol orang Jawa bagi seorang pemimpin. ‘Siluman’ simbol orang yang memiliki kemampuan tinggi dan bisa menghilang. Keris memiliki luk (lekuk) 13, gandhik bentuk kepala naga dengan mahkota, sumping, kalung, dan badan naga berlapis emas. Keris itu simbol agar pemimpin tidak sewenang-wenang karena semua yang dimilikinya adalah samparan ing urip (titipan sementara).
Ketiga dokumen sesuai dengan identifikasi keris bernomor seri RV-360-8084 yang tersimpan di Museum Volkenkunde, Leiden, sebagai Kiai Nogo Siluman. Keris juga sudah diverifikasi tim dari Wina, Austria, yang dipimpin Dr Habil Jani Kuhnt-Saptodewo pada Januari 2020. Juga diverifikasi tim Indonesia pada Februari 2020 yang terdiri atas Hilmar Farid (Dirjen Kebudayaan Kemendikbud), Sri Margana (ahli sejarah UGM, Yogyakarta), Bonnie Triyana (sejarawan dan jurnalis), dan Dubes RI untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Van Engelshoven (kiri), I Gusti A. Wesaka Puja, Dubes RI untuk Belanda, (tengah), dan Stijn Schoonderwoerd, Direktur Nasional Museum van Wereldculturen
Foto: Museum Volkenkunde
“Saya diminta oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian, Pendidikan, dan Kebudayaan untuk memverifikasi hasil temuan Provenant Research di Museum Volkenkunde, Leiden, untuk memastikan bahwa keris itu milik Pangeran Diponegoro,” kata Margana kepada detikX, Jumat, 6 Maret 2020.
Dalam proses verifikasi, sempat terjadi perbedaan pendapat. Pihak Belanda awalnya memperkirakan ukiran gambar binatang dalam bilah keris sebagai singa, harimau, dan gajah. “Tapi, setelah saya melihat langsung objeknya, saya dapat memastikan bahwa binatang yang diinterpretasikan sebagai gajah, singa, atau harimau itu sebenarnya adalah naga siluman Jawa,” jelas Margana.
Setelah memimpin Perang Jawa (Java Oorlog) pada 1825-1830, Diponegoro, putra Sultan Hamengku Buwono III yang memiliki nama Bendoro Raden Mas Muhtasar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo, ditipu dan ditangkap oleh pasukan Hindia Belanda pimpinan De Kock di Kedu, Jawa Tengah, 28 Maret 1830 atau 2 Syawal 1245 Hijriah. Diponegoro langsung dibawa ke Batavia sebelum diasingkan ke Manado dan Makassar hingga wafat pada usia 69 tahun, 8 Januari 1855.
Selain keris Kiai Nogo Siluman, Diponegoro memiliki keris Kiai Wiso Bintulu, tapi sudah dikembalikan ke Keraton Yogyakarta sebelum memimpin Perang Jawa. Menurut ahli sejarah Peter B Carey, dalam bukunya Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, Diponegoro selalu membawa keris Kiai Abijoyo pemberian ayahnya dan keris Kiai Ageng Bondoyudo. Saat wafat, keris Kiai Ageng Bondoyudo inilah yang ikut dikuburkan bersama jasad Diponegoro.
Namun, kepada detikX, sejarawan yang telah menghabiskan puluhan tahun meneliti Diponegoro itu mengatakan keris Kiai Nogo Siluman tampaknya bukan salah satu pusaka Diponegoro yang paling berharga. Diponegoro tidak pernah menyebutkan keris itu dalam autobiografinya yang terdiri atas 1.100 halaman, Babad Diponegoro (1831-1832). Keris itu juga tidak terdaftar di antara tombak pusaka dan belati berharga yang dibagikan kepada keluarganya oleh otoritas kolonial Belanda setelah penangkapannya.
“Juga belum dirujuk oleh Jenderal De Kock dalam laporannya yang sangat terperinci tentang interaksinya dengan sang pangeran di bulan nahas, Maret 1830- Verslag van het voorgevallene bertemu dengan Pangeran Dipo-Nagoro kort vór, bij en na zijne overkomst,” kata Peter kepada detikX, Sabtu 7 Maret 2020.
Peter Carey
Foto : Ari Saputra/detikcom
Bagaimana keris itu sampai ke Cleerens, yang kemudian menyerahkannya kepada Raja Willem I pada Januari 1831, menurut Peter masih misterius. Namun, kata dia, orang memang bisa membuat spekulasi, mengingat Cleerens adalah petugas yang bertugas membuka ‘negosiasi damai’ dengan sang pangeran pada pertengahan Februari 1830, dan Diponegoro mempercayainya. “Sangat mungkin bahwa belati pusaka diberikan untuk menyegel perjanjian pria yang diberikan oleh Cleerens bahwa Belanda akan bernegosiasi dengan iktikad baik. Tentu saja ini tidak terjadi. Dan konsekuensinya sangat buruk, baik bagi orang Belanda maupun orang Indonesia,” tandas Peter.
Yang jelas, memang masih banyak peninggalan Diponegoro yang berada di Belanda. “Keris dan barang Pangeran Diponegoro itu memang masih banyak di Belanda. Jadi ada yang di museum dan ada yang di kolektor orang Belanda,” kata RA Miranda Diponegoro, Ketua Ikatan keluarga Diponegoro sekaligus pengurus Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional, kepada detikX, Sabtu, 7 Maret 2020.
Menurut Miranda, tongkat pusaka Kiai Cokro milik Pangeran Diponegoro yang selama ini disimpan keluarga Baud telah diserahkan ke Indonesia pada 2015. Lalu pelana kuda hitam bernama Ki Gentayu dan tombak bernama Kiai Rodhan juga telah dikembalikan Ratu Juliana ke Indonesia pada 1978. Pengembalian itu merupakan hasil Kesepakatan Budaya Belanda-Indonesia yang ditandatangani pada 1968. “Alhamdulillah, mudah-mudahan Belanda akan menyerahkan seluruhnya, barang-barang beliau (Diponegoro). Karena itu milik kami, milik bangsa Indonesia,” ucap Miranda.
Miranda sepakat bila keris Kiai Nogo Siluman atau benda pusaka lainnya disimpan di Museum Nasional demi terjaganya keamanan, perawatan, dan sekaligus bisa dilihat masyarakat. “Ya, mending disimpan di Museum Nasional, lebih terurus. Toh, kita kerabat keturunan masih bisa melihat langsung ke sana,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Museum Nasional Siswanto belum bersedia diwawancarai tentang kapan keris Kiai Nogo Siluman itu diserahkan. Begitu juga ketika ditanya apakah keris itu akan diserahkan secara resmi dalam kunjungan Raja dan Ratu Belanda ke Indonesia. “Kami akan umumkan ke media saat kedatangan Raja dan Ratu Belanda ya. Maaf, Istana yang akan komando,” jawab Siswanto kepada detikX, Sabtu, 7 Maret 2020.
Reporter: Syailendra Hafiz Wiratama
Redaktur: M. Rizal Maslan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim