Viral surat edaran Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya soal kawasan bebas kucing liar. Kucing-kucing dinilai menganggu tamu kampus. Sebuah penelitian mengungkapkan, kucing bahwa disebut bisa merusak ekosistem karena bisa membuat spesies burung punah.
Adalah Pete Marra, kepala Smithsonian Migratory Bird Center yang mengungkap penelitian soal kucing bisa merusak ekosistem dalam bukunya 'Cat Wars: The Devastating Consequences of a Cuddly Killer'. Dalam buku tersebut, Pete memaparkan hasil penelitian tentang betapa berbahayanya kucing bagi ekosistem dan kesehatan manusia. Pete menulis buku ini bersama Chris Santella.
Ketika menulis buku ini, Pete tak hendak menjadi seorang pembenci kucing. Dia bahkan suka kucing. "Saya suka kucing, menyebut mereka 'binatang yang menakjubkan dan mengagumkan,' yang tampaknya memiliki 'cinta yang aneh bagi saya'. Ini adalah hal yang orang tidak sadari. Jika ibuku mengira aku tidak mendukung kucing, dia pasti bangkit dari kubur," tulis Pete sebagaimana dikutip Majalah Smithsonian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, apa pasal. Penelitian Pete justru mengungkap bahwa hewan lucu ini justru bisa merusak ekosistem alam sekitarnya. Pete bercerita tentang kisah penjaga mercusuar bernama David Lyall tiba di Pulau Stephens, Selandia Baru dengan seekor kucing bernama Tibbles pada tahun 1894,.
Hanya dalam waktu satu tahun, Pulau Stephens, burung langka yang endemik di pulau itu, punah. Bukti-bukti ilmiah mengarahkan tersangka dari kasus punahnya burung endemik ini adalah kucing.
Selain itu, Pete juga mengungkapkan pengalamannya ketika bekerja sebagai ahli ekologi satwa liar di Pusat Penelitian Lingkungan Smithsonian. Dia menemukan fakta soal 79 persen burung di pinggiran kota Maryland dibunuh oleh predator, utamanya kucing. Hal ini, dia identifikasi dari tanda-tanda burung yang mati, kepalanya putus dengan tubuh yang tidak dimakan. Sebagian besar burung mati di rahang kucing.
Sementara itu, jika mengacu pada penelitian Wildlife Society and the American Bird Conservancy, kucing liar rata-rata bisa membunuh dua hewan dalam tiap minggunya.
Atas sifat temuannya ini, Pete melontarkan sebuah saran radikal yang membuat dirinya bisa diamuk oleh para pecinta kucing. "Tidak ada yang suka ide membunuh kucing," tulis Marra dalam bukunya. "Tapi kadang-kadang, itu perlu."
Sebelumnya, surat edaran ITS bebas kucing itu diposting oleh akun @KuchinkLine di Twitter. Dia heran dengan alasan ITS dengan surat edaran itu.
"Beredar selebaran tentang kampus bebas kucing di ITS. Entah apa alasan di balik hal tsb. Mungkin karena overpopulasi akibat kucing2 tsb tidak dineuter dan/atau dibuang ke area kampus. Mohon bantuan teman2 untuk berpendapat! #ITSSurabaya," tulis akun @KuchinkLine.
Postingan yang diunggah pukul 11.28 PM itu pun kini sudah diretweet sebanyak 266 kali, likes 479 dan komen 128. Banyak yang kontra soal kebijakan ini. Sementara itu, Kepala Unit Komunikasi Publik ITS Anggra Ayu Rucitra menyebut jika ada kesalahpahaman pada isi surat edaran itu.
"Mengacu pada paragraf pertama baris pertama yang menyebutkan: (Dalam upaya menciptakan suasana kampus bebas kucing). Yang mana, harusnya poin tersebut langsung lebih spesifik pada poin "Area kantor atau unit kerja bebas kucing"," kata Anggra kepada detikcom saat dikonfirmasi, Jumat (28/2/2020).
Anggra mengatakan, pihaknya menyadari jika penyebutan area kampus bebas kucing akan dimaknai luas di seluruh lingkungan kampus ITS. Sebab, poin dari selebaran itu menuai kontroversi di mata pembaca. Dia menjelaskan bahwa pelarangan kucing liar ini dikarenakan kucing kerap menganggu para tamu kampus. Semua ini dilakukan demi kenyamanan bersama.
"Mengingat tak semua manusia bisa berdekatan dengan kucing secara langsung. Sehingga surat himbauan ini digunakan untuk menciptakan suasana kerja yang nyaman baik untuk internal ITS maupun tamu-tamu yang berkunjung ke ITS," jelasnya.