"Itu kan sudah disampaikan ke DPR ya kita tunggu saja nanti apa kata DPR-nya," ujar Ma'ruf di Kantor Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2020).
Ma'ruf memaklumi berbagai pihak yang meminta agar draf tersebut ditarik pemerintah. Namun Ma'ruf menyebut pemerintah masih menunggu proses yang sedang berlangsung di DPR.
"Memang ada permintaan (penarikan) itu saya kira bisa saja. Tapi kita prosedurnya menyampaikan ke DPR, DPR yang melakukan rapat dengar pendapat. Kemudian apa nanti keputusan dari DPR. Kita tunggu aja," jelas dia.
Usulan penarikan draf itu dilontarkan oleh Partai Gerindra dan mencermati adanya salah ketik dalam draf tersebut pada Pasal 170, di mana peraturan pemerintah (PP) dapat mengubah undang-undang (UU). Sekjen Gerindra Ahmad Muzani meminta pemerintah memperbaiki salah ketik di draf tersebut. Usai perbaikan, pemerintah dapat mengembalikan draf tersebut kepada DPR.
"Jadi saya pikir pemerintah ya kalau memang salah ketik ya segera diperbaiki. Saya berharap pemerintah segera memperbaiki salah ketik itu, di mana supaya ada pembetulan dan diajukan susulan," ujar Muzani di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamsi (20/2).
Usulan pencabutan draf itu juga dilontarkan guru besar ilmu hukum UI, Prof Hikmahanto Juwana. Menurutnya, seharusnya Kementerian Hukum dan HAM memastikan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sesuai dengan koridor konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Proses ini, kata Hikmahanto, sepertinya yang tidak dilampaui oleh Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Karena itu, Staf Khusus Presiden menganggap RUU tersebut tidak sesuai dengan instruksi Presiden.
"Dalam konteks demikian tentu masukan tidak bisa dilakukan pasal per pasal RUU yang ada di tangan DPR. Ini karena secara fundamental RUU sudah tidak sesuai dengan keinginan Presiden. Oleh karenanya pemerintah perlu menarik kembali dan memperbaiki secara fundamental RUU Ciptaker," kata Hikmahanto dalam siaran pers yang diterima detikcom, Jumat (21/2).
(lir/zlf)