Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar kewenangan penyelidikan dan penyidikan di kepolisian sektor (Polsek) dipangkas. Unit kepolisian di tingkat kecamatan itu cukup menjalankan fungsi menjaga keamanan serta pengayoman.
Usulan tersebut disampaikan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md yang juga Ketua Kompolnas saat menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (19/2/2020) kemarin.
"Polsek itu kalau bisa tidak melakukan penyelidikan dan penyidikan, tetapi dia bangun tertib dan nyaman, pengayoman ke masyarakat," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seandainya terjadi persoalan, penyelesaiannya diutamakan melalui metode restorative justice (keadilan restoratif), pendekatan kekeluargaan, dan perdamaian. Namun jika ternyata kasusnya berat, akan ditangani unit kepolisian di tingkat kabupaten atau kota.
"Harapan kami dengan Polsek tidak lagi disibukkan dengan lidik dan sidik, maka Polsek akan lebih banyak waktunya untuk melayani, mengayomi, melindungi masyarakat," ujar Komisioner Kompolnas Poengky Indarti menambahkan saat dihubungi Kamis (20/2/2020).
Simak Video "Viral Pemuda Mabuk Tantang Polisi di Depan Polsek Lau Maros"
Poengky juga berpandangan perlunya mengubah paradigma anggota kepolisian dalam memandang permasalahan yang terjadi di masyarakat. Tidak semua persoalan harus dibawa ke pengadilan. Ada masalah yang bisa dinilai 'sepele' yang bisa diselesaikan tanpa proses hukum.
Masih terekam jelas sekitar satu dasawarsa lalu, seorang nenek di Banyumas bernama Minah yang harus berurusan dengan hukum karena memetik tiga buah kakao di perkebunan yang tak jauh dari rumahnya. Meski mengembalikan kakao tersebut polisi tetap memeriksanya.
Nenek Minah bahkan harus duduk sebagai seorang pesakitan atas kasus pencurian ini di Pengadilan Negeri Purwokerto. Dia pun divonis satu bulan 15 hari penjara.
"Pertengkaran anak, pertengkaran antar tetangga, pencurian semangka, pencurian buah coklat, pencurian ranting pohon tidak harus diproses hukum. Polri memiliki kewenangan diskresi kepolisian untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil atau sepele tersebut," ujar Poengky.
Melalui penyelesaian tindak pidana ringan melalui restorative justice ini, Poengky meyakini pemutusan kewenangan Polsek untuk penyelidikan dan penyidikan tidak menyebabkan terjadinya penumpukan kasus di Polres. "Polsek pun diharapkan dapat lebih mengedepankan pencegahan kejahatan," ujarnya.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengurusi hukum, HAM, dan keamanan, Wayan Sudirta mengakui wacana yang dilontarkan Kompolnas tersebut mengejutkan. "Namun gagasan ini kalau mau fair ada sisi positifnya juga," ujarnya.
Sudirta menyebut dari sisi profesionalitas, kasus pidana jika dilimpahkan ke Polres penanganannya pasti secara teknis yuridis jauh lebih baik. Begitu juga dari segi pengawasan terhadap anggota reserse diberi tugas menangani. "Dari sisi HAM juga pasti lebih baik," kata Sudirta.
Namun gagasan Kompolnas tersebut kata Sudirta masih membutuhkan kajian mendalam. "Ada pertentangan dengan prinsip reformasi terutama berkaitan dengan otonomi daerah. Lalu bagaimana pelayanan polisi agar meningkat. Saya kira tidak cukup penanganan perkara pidana itu ditangani Polres saja," ujarnya.
Kalau setiap tindak pidana penanganannya dibawa ke Polres, Sudirta khawatir rentang kendalinya jadi panjang. Justru akan menyulitkan jangkauan kerja polisi yang ingin menyelesaikan perkara dengan cepat.
"Masyarakat pun akan disulitkan. Terutama yang ingin melaporkan kasus. Berapa biaya yang harus dikeluarkan?" kata Sudirta. "Jangan bayangkan Indonesia ini seperti di Jakarta."
Sudirta berpendapat ketimbang memotong kewenangan itu, lebih baik mengoreksi kebijakan menargetkan Polsek menyelesaikan kasus. "Maksudnya mungkin baik. Tapi di lapangan lebih banyak buruknya daripada baiknya. Nanti reserse yang ingin punya reputasi mencapai target jadi membabi buta untuk menangkapi orang."
Terkait soal "target" yang dikritisi Sudirta, Poengky punya pandangan sebaiknya target diubah. Dari jumlah kasus pidana yang diterima dan diselesaikan menjadi perlindungan, pelayanan dan pengayoman yang lebih baik. Target tetap dibutuhkan untuk memacu kinerja jadi lebih baik.
"Misalnya target wilayahnya aman curanmor dengan cara berapa kali patroli? Target wilayahnya tidak ada konflik sosial, maka berapa sering sambang sapa salam dan senyum pada masyarakat? Serta berapa kali kisruh-kisruh kecil dapat diselesaikan dengan restorative justice," ujar Poengky.
Sementara pengamat kepolisian, Alfons Loemau menyatakan untuk pengamanan dan pencegahan kejahatan, polisi membutuhkan pengumpulan data dan informasi wilayah. Data dan informasi ini yang kemudian dianalisis. Kegiatan ini menurut Alfons merupakan sebuah kegiatan penyelidikan.
"Nah kalau ternyata kewenangan lidik dihapus bagaimana anggota Polsek bisa melakukan pencegahan kejahatan," ujar Alfons yang pernah menjabat Kepala Polsek Metro Menteng, Jakarta Pusat."Mencegah kejahatan itu tidak bisa dilakukan dengan hanya duduk-duduk saja di pos penjagaan."
Mantan anggota polisi dengan pangkat terakhir Komisaris Besar itu juga mengkritisi dorongan untuk menggunakan prinsip restorative justicer. Menurut Alfons konsep ini membutuhkan aturan perundangan untuk proses implementasi. Tanpa itu metode tersebut justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Restorative justice ini bisa jadi multitafsir. Setiap orang punya kebijakan sendiri. Bisa-bisa di tiap Polsek beda penerapan dan implementasi. Atau ganti pimpinan Polsek, beda lagi kebijakannya dalam kasus yang sama. Bisa dibayangkan kekacauan yang bisa timbul," ujar mantan dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini.
Pemotongan kewenangan Polsek dengan memberi porsi lebih pada metode restorative justice akan menimbulkan dilema pada kepastian penegakan hukum. "Kalau terjadi seperti itu di mana letak kepastian hukumnya? Padahal pekerjaan polisi itu memberikan kepastian hukum," kata Alfons.