Pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersilang pendapat soal Pasal 170 RUU Cipta Kerja di omnibus law. Kemenko Perekonomian membela keberadaan pasal itu. Adapun Menko Polhukam Mahfud Md menilai salah ketik. Sedangkan Staf Ahli KSP Ngabalin meminta semua perlu didiskusikan lagi.
Pasal yang disilangsengketakan adalah BAB XIII Ketentuan Lain-lain RUU Cipta Kerja. Pasal 170 berbunyi:
Ayat (1)
Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayat (2)
Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (3)
Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
![]() |
"Sangat disayangkan para pembantu presiden tidak satu sikap dan satu suara dalam menanggapi keberadaan pasal-pasal kontroversial di RUU Cipta Kerja yang salah satunya adalah pasal yang mengatur undang-undang (UU) bisa diubah dengan peraturan pemerintah (PP)," kata ahli perundang-undangan, Bayu Dwi Anggono, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (18/2/2020).
"Sepanjang kekeliruan tersebut segera dikoreksi," cetus Direktur Puskapsi Universitas Jember itu.
Menurut Bayu, upaya salah satu kementerian melakukan pembenaran secara serampangan dan menolak masukan atau komentar publik atas isi Pasal 170 RUU Cipta Kerja hanya akan menunjukkan bahwa para pembantu Presiden tidak memahami sistem perundang-undangan Indonesia dan antikritik.
"Bahwa secara nyata di mana pun dalam sistem perundang-undangan berlaku asas tingkatan hierarki yaitu peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih rendah bersumber dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi," papar Bayu.
"Selain itu, terdapat asas juga bahwa peraturan perundang-undangan hanya boleh diubah atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang hierarkinya lebih tinggi, peraturan perundang-undangan yang sejenis atau melalui putusan pengadilan," beber Bayu.
"Dengan kata lain tidak mungkin ada PP jika tidak ada UU yang akan dijalankannya. Dengan konstruksi yang demikian maka sangat tidak logis dan bertentangan dengan nalar konstitusi jika PP digunakan sebagai sarana mengubah UU," ucap Bayu.
Pemberian contoh bahwa terdapat Preseden dalam ketatanegaraan Indonesia seakan-akan ada beberapa PP pernah digunakan untuk mengubah UU juga tidak tepat. Konstruksi Pasal 170 ayat RUU Cipta Kerja berbeda jauh dengan praktik PP sebagai produk hukum yang didelegasikan oleh UU untuk menetapkan atau mengatur objek tertentu termasuk perubahannya. Pasal 170 RUU Cipta lapangan kerja secara tidak langsung telah mengubah isi UUD 1945 karena menempatkan PP sejajar UU.
"Karena itu untuk segera mengakhiri polemik dan kegaduhan keberadaan Pasal 170 RUU Cipta Kerja maka Presiden bisa segera mengingatkan para pembantunya untuk menampung saja segala masukan publik atas RUU ini dan digunakan sebagai bahan pembahasan di DPR. Masukan publik ini juga harus dianggap sebagai vitamin yang akan menjaga sehatnya isi RUU Cipta kerja dan melindungi RUU Cipta Kerja dari para penumpang gelap yang ingin membelokkan niat baik presiden membenahi regulasi Indonesia," kata Bayu mengusulkan.