Kasus Paniai Masuk Pelanggaran HAM Berat, Moeldoko: Dilihat Lah yang Bener

Kasus Paniai Masuk Pelanggaran HAM Berat, Moeldoko: Dilihat Lah yang Bener

dkp - detikNews
Senin, 17 Feb 2020 14:49 WIB
Moeldoko
KSP Moeldoko/Foto: Andhika/detikcom
Jakarta -

Komnas HAM memutuskan peristiwa Paniai 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut kejadian itu tidak terstruktur dan sistematis.

"Perlu dilihat lah yang bener. Paniai itu sebuah kejadian yang tiba-tiba. Harus dilihat dengan baik itu karena tidak ada kejadian terstruktur, sistematis. Nggak ada. Tidak ada perintah dari atas, tidak ada. Tidak ada kebijakan yang melakukan hal seperti itu, tidak ada," ujar Moeldoko di gedung Bina Graha, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Senin (17/2/2020).

Kala peristiwa itu terjadi, Moeldoko masih menjabat sebagai Panglima TNI. Moeldoko pun menjelaskan apa yang terjadi saat itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi supaya dilihatnya dengan cermat, jangan sampai nanti membuat kesimpulan yang tidak tepat. Kalau menurut saya apa yang dilakukan oleh satuan pengamanan saat itu adalah sebuah tindakan yang kaget tiba-tiba karena dia diserang masyarakat yang kaget begitu. Sehingga tidak ada upaya sistematis," ujar Moeldoko yang menjabat sebagai Panglima TNI dari 2013 hingga 2015 ini.

Temuan Lengkap Komnas HAM

Keputusan ini sebelumnya diambil melalui sidang paripurna khusus Komnas HAM. Ketua Komnas HAM Taufan Damanik menjelaskan, pada tanggal tersebut terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Pada kejadian yang sama terdapat 21 orang yang mengalami luka penganiayaan.

"Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna, peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014 secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggaran berat HAM," ujar Taufan dalam keterangan tertulis.

Peristiwa Paniai pada tanggal 7-8 Desember 2014 terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan 4 (empat) orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk sedangkan 21 (dua puluh satu) orang lain mengalami luka penganiayaan.

Peristiwa ini, lanjut Taufan, tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut. Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. TIM bekerja selama 5 (lima) tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

Tim Ad Hoc Komnas HAM telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7-8 Desember 2014 tersebut. Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Tim penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri.

Di samping hal-hal di atas, tim juga menemukan adanya indikasi obstruction of juctice dalam proses penanganan pasca peristiwa. Obstruction of justice dalam proses penanganan ini mengakibatkan kaburnya fakta peritiwa dan memperlambat proses penegakan hukum.

Munafrizal Manan anggota TIM menyatakan "obstruction of justice penting untuk tetap disebutkan sebagai fakta walau tidak harus dikaitkan dengan adanya sistematis atau meluas. Ini bertujuan agar mendapat perhatian oleh penegak hukum untuk bekerja profesional dan menegakkan keadilan, bukan yang lain".

Berkas penyelidikan telah dikirim kepada Jaksa Agung/Penyidik pada tanggal 11 Februari 2020 sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM berharap kasus ini segera dapat berproses ke Pengadilan.

Selanjutnya, Sandrayati Moniaga anggota TIM menyatakan "kami berharap segera ada proses sampai ke Pengadilan, harapan besar dari korban dan masyarakat Papua secara umum agar kasus ini dapat mendatangkan keadilan".

Halaman 2 dari 3
(fjp/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads