Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Tahun Politik

Kolom

Penuntasan Pelanggaran HAM Berat di Tahun Politik

Agus Suntoro - detikNews
Jumat, 08 Jun 2018 13:58 WIB
Pertemuan Presiden Jokowi dengan keluarga korban pelanggaran HAM berat
Jakarta -
Momentum pertemuan Presiden Joko Widodo dengan keluarga korban dan aktivis HAM pada Kamis, 31 Juni 2018 satu sisi meneguhkan optimisme bahwa upaya penuntasan pelanggaran HAM yang berat dapat dituntaskan pada sisa pemerintahan sampai 2019. Sedangkan di pihak yang lain, justru melihat aroma pertemuan tersebut masih jauh dari komitmen penuntasan. Meskipun, secara politik merupakan janji yang tertuang dalam program kerja Nawacita.

Situasi HAM sampai saat ini belum masuk tahap yang menggembirakan. Berbagai bukti dan catatan pelanggaran HAM terus berkelindan. Hipotesis awal didasarkan pada dokumen pengaduan pelanggaran yang diterima oleh Komnas HAM, sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas menentukan situasi pelanggaran HAM di Indonesia. Jika pada 2012 jumlah berkas yang diterima 6.284, maka pada 2016 jumlah tersebut melonjak menjadi 7.188 berkas, dan 2017 sebanyak 5.387 berkas (LAPTAH 2016 dan LAKIP 2017).

Realitas ini sebetulnya disadari penuh oleh pemerintah. Puncaknya pada Peringatan Hari HAM 10 Desember 2017 di Solo, Jawa Tengah --Presiden Joko Widodo menekankan masih ada pekerjaan besar dalam upaya penegakan HAM yang belum terselesaikan, termasuk pelanggaran HAM di masa lalu. Sisi lainnya dalam aspek pemenuhan hak sosial, ekonomi, kebudayaan, dan hak politik masih menjadi catatan yang perlu ditingkatkan.

Sebetulnya, situasi ini tidak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya di mana persoalan kebebasan beragama, penguatan paham primodialisme, pelanggaran hak-hak masyarakat adat, praktik perdagangan manusia, dan konflik agraria masih terus menjadi pekerjaan rumah pemerintahan saat ini.

Pelanggaran HAM Berat

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat diatur dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang mengatur dua kategori yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Regulasi tersebut menetapkan mekanisme penyelesaian penuntasan pelanggaran HAM yang berat, baik menyangkut proses penyelidikan yang diamanatkan kepada Komnas HAM, penyidikan oleh Kejaksaan Agung, dan pemeriksaan pengadilan melalui Pengadilan HAM (maupun ad hoc).

Selain amanat konstitusi dan berbagai regulasi, penuntasan pelanggaran HAM yang berat secara de jure menjadi salah satu program pemerintahan Joko Widodo–Jusuf Kalla melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 yang secara substansi berupaya menyelesaikan secara berkeadilan atas pelanggaran HAM masa lalu. Terdapat 3 (tiga) upaya yang diprogramkan; pertama, membangun kesadaran bahwa pelanggaran HAM tidak dapat dibiarkan dan terulang kembali di masa yang akan datang. Kedua, upaya memfasilitasi pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu. Ketiga, pembentukan suatu kelembagaan yang bersifat ad hoc yang akan memfasilitasi pengungkapan tersebut, dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Celakanya, meskipun hasil penyelidikan Komnas HAM yang berjumlah 7 (tujuh) berkas sudah selesai, proses lanjutan terkait dengan penuntasan melalui tahap penyidikan dan pemeriksaan melalui pengadilan belum ada satu pun yang terjadi. Kasus-kasus tersebut adalah Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa; Peristiwa Kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Triksakti, Semanggi I, dan Semanggi II; dan, Peristiwa Wasior dan Wamena.

Rezim ini juga direpotkan peristiwa Paniai yang terjadi pada Desember 2014 yang menyebabkan 4 (empat) korban meninggal dunia, dan 22 (dua puluh dua) orang terluka akibat tembakan. Dampak pelik dan berlarut-larutnya penuntasan persoalan ini memiliki risiko dan anggapan kurang seriusnya pemerintah. Kondisi ini diperparah dengan proses penyelidikan yang berjalan masih belum maksimal, baik terkendala akses terhadap saksi, korban, dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Apalagi, Papua selalu memiliki sensitivitas yang cukup unik baik nasional maupun internasional.

Pembaruan Sinergi

Janji penuntasan yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo --terlepas dari semakin mendekatnya tahun politik yang menjadikan isu HAM semakin strategis, dan mampu mempengaruhi psikologi pemilih-- tidak akan mudah dilakukan. Karena; pertama, secara hukum dalam UU Nomor 26 Tahun 2000, mandatori penyelesaian pelanggaran HAM yang berat adalah rangkaian kewenangan secara berjenjang yang dimiliki Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan badan peradilan (Pengadilan HAM dan Ad Hoc).

Dengan demikian, apabila satu proses terjadi permasalahan ataupun kendala maka tidak akan berjalan mekanisme hukum ini. Kondisi ini diperparah dengan statemen masing-masing pemegang mandat. Komnas HAM menyatakan bahwa proses penyelidikan telah selesai dilakukan, dan hasilnya diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Dalam berkas tersebut telah rampung menguraikan peristiwa pelanggaran HAM, keterangan saksi-saksi, dan ditunjang dengan alat bukti. Sehingga, pernyataan Jaksa Agung bahwa hasil penyelidikan tersebut hanya asumsi dan opini tidaklah sesuai koridor hukum yang ada.

Sedangkan, Jaksa Agung menyatakan kesulitan membawa kasus pelanggaran HAM, terutama di masa lalu, diajukan ke pengadilan karena kesulitan dalam aspek pembuktian. Untuk itu, Kejaksaan menilai proses yang lebih masuk akal adalah penyelesaian melalui jalur non-judisial. Merujuk pada realitas ini, penanggung jawab mandat terutama Komnas HAM selaku penyelidik dan Kejaksaan Agung RI selaku penyidik dan penuntut perlu bersama-sama berbicara mendudukkan tugas pokok dan kewenangannya, mencari solusi atas permasalahan dalam pemberkasan, baik aspek formil maupun materiil.

Diharapkan, praktik yang selama ini terjadi --bolak-balik berkas dan saling melempar tanggung jawab-- tidak terulang kembali. Mengingat, proses tersebut menyakitkan dan menambah luka bagi korban, serta menunjukkan belum seriusnya pemerintah melindungi hak mereka, dan membawa pelaku di hadapan hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Kedua, perlunya dukungan politik; terdapat mekanisme dan situasi khusus terhadap penuntasan pelanggaran HAM yang berat sebelum diundangkannya UU Nomor 26 Tahun 2000. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1), harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Terdapat tantangan dalam pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud, karena harus dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Problem regulasi ini juga tidak kalah peliknya, sehingga upaya penuntasan pelanggaran HAM yang berat, terutama kasus masa lalu, tidak hanya bergantung kepada pemerintah (eksekutif) semata, tapi membutuhkan dukungan politik dari parlemen. Berbagai kasus sebelum tahun 2000 dengan dimensi politik dan sensitivitas tinggi pasti memerlukan proses yang panjang agar rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc terbentuk, seperti Peristiwa 1965, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, serta Peristiwa Triksakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Mengingat keruwetan berkas perkara yang terus bolak-balik, perlu sikap politik kenegaraan melalui Presiden dan DPR. Secara umum, peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 diduga melibatkan berbagai tokoh penting, kiranya tidak menghilangkan optimisme terhadap proses penuntasannya. Jika tidak satu pun kasus tersebut dapat diproses di pengadilan HAM dalam sisa masa jabatan pemerintahan sampai 2019, maka korban dan publik akan mencatat bahwa momentum yang terjadi pada akhir-akhir ini hanya berputar soal kontestasi menuju 2019.

Agus Suntoro Staf Senior Komnas HAM

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads