Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi mengajukan praperadilan kedua setelah kalah di praperadilan pertama. Di sisi lain, Nurhadi kini dinyatakan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) KPK. Bolehkan Nurhadi mengajukan praperadilan?
"Rabu, 5 Februari ini kami sudah ajukan gugatan praperadilan klien kami terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatannya sudah terdaftar juga hari ini," kata kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail, pada Kamis 6 Februari 2020.
Baca juga: Tak Ada yang Berlebihan Nurhadi Jadi Buronan |
Sepekan setelahnya, tepatnya pada 13 Februari 2020, KPK memasukkan tersangka kasus suap-gratifikasi Rp 46 miliar itu ke daftar pencarian orang (DPO). Menantu Nurhadi, Riezky Herbiyono, juga jadi DPO karena dinilai tidak menunjukkan iktikad baik untuk memenuhi panggilan KPK, padahal sudah dipanggil dengan patut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Para tersangka yang setelah dipanggil dua kali sebagai tersangka Pak NH (Nurhadi) dkk yang tidak hadir atau mangkir dari panggilan penyidik KPK maka kami menyampaikan bahwa KPK telah menerbitkan daftar pencarian orang, DPO kepada para tiga tersangka ini, yaitu Pak Nurhadi kemudian Riezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto," kata Plt Jubir KPK Ali Fikri.
Jejak Kelam Eks Sekjen MA Nurhadi 'Si Buronan' KPK:
"Jika permohonan praperadilan tersebut tetap dimohonkan oleh penasehat hukum atau keluarganya, maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan praperadilan tidak dapat diterima," demikian bunyi SEMA itu.
Surat Edaran tersebut dibuat untuk memberikan kepastian hukum dalam proses pengajuan praperadilan bagi tersangka berstatus buron. Mengapa lahir SEMA itu?
"Dalam praktik peradilan akhir-akhir ini ada kecenderungan permohonan praperadilan diajukan tersangka dalam status DPO. Akan tetapi hal tersebut belum diatur dalam peraturan perundang-undangan," demikian tertulis dalam Surat Edaran itu.
Sebagaimana diketahui, Nurhadi ditetapkan jadi tersangka korupsi karena menerima gratifikasi-suap senilai Rp 46 miliar. Diduga korupsi itu terkait kasus sengketa perdata hingga perwalian. KPK menduga korupsi itu diterima sepanjang Nurhadi menjadi Sekretaris Mahkamah Agung (MA) atau setidak-tidaknya saat menjadi PNS di Mahkamah Agung (MA).