PJI menilai MKN memiliki kewenangan mutlak dan final untuk menyetujui atau tidak menyetujui pemanggilan notaris untuk hadir dalam pemeriksaan perkara yang menghambat proses penanganan perkara. Tidak hanya itu, bahkan penyidik, penuntut umum, ataupun hakim yang ditolak MKN dalam memanggil Notaris tidak dapat melakukan upaya hukum apa pun terhadap keputusan tersebut.
"Akhirnya frasa tersebut menjadikan notaris suatu profesi yang kebal hukum dan mempunyai kedudukan yang berbeda dari warga negara pada umumnya," ujar Hasbullah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut PJI, frasa tersebut bertentangan dengan asas (equality before the law) bagi setiap warga negara Indonesia, tidak terkecuali notaris. Hal itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Baca juga: Omnibus Law dan Kemudahan Berbisnis |
Selain itu, Pasal 66 ayat (1) di atas materinya sudah dibatalkan MK lewat putusan nomor 49/PUU-X/2012 pada 26 Maret 2013. Menurut MK, materi tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Frasa tersebut sebagai telah menyulitkan Jaksa sebagai penegak hukum karena menjadikan syarat untuk terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris sebelum menghadirkan saksi/tersangka/terdakwa ke dalam suatu proses peradilan pidana, tentunya telah bertentangan dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan sebagaimana telah diatur dengan tegas dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman," pungkas Hasbullah.
(asp/aan)