Catatan LP3ES di Hari Pers: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi

Catatan LP3ES di Hari Pers: Ketika Jurnalisme Memunggungi Demokrasi

Fajar Pratama - detikNews
Minggu, 09 Feb 2020 19:28 WIB
PWI menggelar Smart Outlook Economic dalam rangkaian Hari Pers Nasional 2020 (Dok. Istimewa)
Foto: Ilustrasi soal Hari Pers Nasional 2020 (Dok. Istimewa)
Jakarta -

Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) memberi catatan di Hari Pers Nasional 2020. LP3ES berbicara soal jurnalisme memunggungi demokrasi.

"Senjakala media mainstream. Itulah barangkali cara yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi media kita hari ini," kata Wijayanto, Direktur Center for Media and Democracy, LP3ES dalam catatannya, Minggu (9/2/2020).

Senjakala ini menurutnya bukan karena media diterpa penetrasi revolusi digital, namun karena media menurutnya berhenti menjadi relevan bagi publik. Media mungkin boleh berganti, namun jurnalisme akan tetap ada, sebut Wijayanto.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Wijayanto mengatakan media adalah bungkus, jurnalisme adalah isinya. Hari ini, katanya, demokrasi kita membutuhkan jurnalisme lebih dari sebelumnya karena demokrasi tengah mengalami proses regresi yang serius yang sangat rentan mengarah pada autoritarianisme.

"Sayangnya, banyak peristiwa menunjukkan bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadikan dirinya sebagai medium yang menghadirkan aspirasi dan pikiran publik. Alih-alih mendorong konsolidasi, jurnalisme kita justru memunggungi demokrasi," sebut dia.

ADVERTISEMENT

"Indikatornya sederhana. Jurnalisme kita gagal bahkan untuk sekedar mengimplementasikan sembilan elemen paling dasar jurnalisme sebagaimana diungkap oleh Kovach dan Rosenstiel (2016). Elemen-elemen ini disarikan dari 21 diskuski kelompok terarah yang dihadiri 3.000 jurnalis yang meliputi testimoni lebih dari 300 jurnalis di Amerika. Uraian berikut ini akan menguraikan kegagalan jurnalisme kita untuk mengimplementasikan elemen-elemen itu," nilai Wijayanto.

Elemen-elemen yang ditekankan Wijayanto adalah kebenaran, loyalitas kepada publik, disiplin verifkasi, independensi, mengawasi kekuasaan, kritisisme, memikat-relevan, proporsional dan komprehensif dan panggilan hati nurani.

Berikut ini sejumlah poin catatan Wijayanto soal jurnalisme memunggungi demokrasi:

- Berita yang benar adalah ibarat oksigen bagi demokrasi. Dalam konteks pemilu, misalnya, pemilih melakukan pilihan politik berdasarkan informasi yang diperolehnya tentang seorang kandidat. Jika informasi nya salah, maka publik akan mendapat gambaran keliru dari seorang calon yang dipilihnya dan menghasilkan keputusan yang juga keliru. Dalam hal ini, masih maraknya kabar bohong dan ujaran kebencian menjelang pemilu 2019 adalah satu bukti bahwa jurnalisme kita gagal untuk menjadi rujukan demi menjernihkan polusi di ruang public kita.

- Jurnalisme memberikan metode untuk mendapatkan kebenaran. Ia bernama verifikasi. Disiplin verifikasi ini sering disampaikan dalam anecdote: "even if your mom says she loves you, you have to check it." Sayangnya banyak media yang melanggar salah satu prinsip paling esensial dalam kerja mereka ini. Kita bisa menjadikan peristiwa pengejaran KPK terhadap politisi PDIP Harun Masiku sebagai contohnya. Semula banyak media mainstream yang memberitakan bahwa KPK tak dapat menghadirkan Harun karena dia tengah berada di luar negeri sejak 6 Januari. Penyebabnya adalah karena berita itu lemah dalam verifikasi. Mereka hanya menjadikan versi resmi pemerintah (Menteri Yasonna dan komisioner KPK) sebagai sumber berita lalu memberitakannya begitu saja.

- Independensi media ini diuji dalam setiap momen pemilu. Sering terjadi media tidak netral dalam pemilu sampai pada level mempraktikkan disinformasi.

- Manifestasi dari pengawasan pada kekuasaan ini paling baik tampak dalam praktik jurnalisme investigasi. Sayangnya, praktik jurnalisme investigasi bukanlah mainstream dalam media mainstream kita.

(gbr/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads