Said Iqbal mengatakan alasan pertama menolak omnibus law adalah terkait penghapusan upah minimum. Menurutnya, digantinya aturan upah minimum dengan upah per jam akan berdampak pada penghasilan buruh yang jauh dari kata 'layak'.
"Buruh akan dihitung per jam dalam jam kerjanya. Kalau dia bekerja dalam satu bulan hanya 2 minggu, maka dapat dipastikan upahnya hanya sepertiga atau paling tinggi setengah dari nilai upah minimum yang berlaku di satu daerah tertentu," ujar Said Iqbal di depan DPR, Jl Gatot Subroto, Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, kata dia, omnibus law ini akan mengakibatkan hilangnya pesangon. Said Iqbal mempertanyakan aturan yang akan mengganti pesangon dengan tunjangan PHK sebesar enam kali upah buruh per bulan.
"Pertanyaannya sederhana, dari mana biaya dana untuk memberikan upah kalau seorang pekerja DKI upahnya adalah Rp 4,2 juta kali 6 bulan, satu orang berarti ada Rp 24 juta dia dapat. Dari mana uangnya?" katanya.
"Kalau di negara maju, berdasarkan iuran dari pekerja, pemberi kerja, dan pemerintah, tapi kalau unemployment benefit yang ditawarkan tidak jelas, bahkan dikatakan tidak ada iuran. Ini hanya sebuah strategi pada satu titik akan dihilangkan pesangon," lanjut dia.
Tonton juga Serikat Buruh Bergerak Menuju DPR, Siap Gelar Aksi Tolak Omnibus Law! :
Ketiga, lanjut dia, dalam omnibus law akan terjadi penggunaan karyawan outsourcing dan karyawan kontrak dengan semena-mena. Menurutnya, dalam RUU Cipta Lapangan Kerja ini diatur semua jenis pekerjaan dilakukan kontrak.
"Di undang-undang nomor 13 itu hanya dibatasi untuk outsourcing 5 jenis pekerjaan saja, cleaning service, katering, driver, sekuriti, dan jasa penunjang karena nanti dibebaskan, bahkan akan kompleks dibebaskan untuk semua jenis pekerjaan, dengan demikian tidak ada kepastian kerja," katanya.
Keempat, kata Said Iqbal, hilangnya jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Ini membuat para pengusaha tidak memiliki kewajiban membayar uang jaminan tersebut. "Kalau RUU ini disahkan, maka mengakibatkan pengusaha tidak punya kewajiban membayar uang jaminan pensiun dan bahkan jaminan kesehatan. Siapa yang bayar? Sudah upah di bawah minimum, tidak ada lagi jaminan sosial pensiun maupun kesehatan," katanya.
Selanjutnya, omnibus law disebut akan membuat tenaga kerja asing (TKA) menjadi mudah bekerja di dalam negeri. Seharusnya, kata Said Iqbal, TKA di Indonesia hanya untuk saling berbagi pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan pekerja lokal.
"Tapi dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja tersirat bahwa semua jenis pekerjaan dan pekerja buruh kasar kita sebutnya itu boleh. Ini mengancam masa depan tenaga kerja lokal di mana negara tidak bisa melindunginya," katanya.
Terakhir, dihapuskannya sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar pekerja di bawah upah minimum akan membuat pengusaha semena-mana. "Maka pengusaha nanti boleh tidak membayar upah minimum, toh tidak ada sanksi. Pengusaha boleh mengeksploitasi buruh dengan sistem itu sourcing yang tidak punya masa depan toh tidak ada sanksi," ujar dia.
Hal senada diungkap koordinator Daerah Gardu Metal FSPMI, Nur Fahrozi, yang menyebut, jika Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja disahkan, gaji buruh akan dihitung per jam. Selain itu, sistem ini dinilai berdampak pada outsourcing.
"Jika disahkan oleh pemerintah dan DPR, upah buruh dihitung per jam. Dengan kata lain, ketika kita sakit, ketika kita memakai hak cuti kita, tidak akan dibayar pengusaha. Kedua, jika omnibus law disahkan, maka sistem kerja outsourcing akan dibebaskan di semua jenis pekerjaan," ujar Nur Fahrozi.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini