"Kami sangat bersyukur sekali dengan terbangunnya jalan ini. Perbandingannya sangat jauh beda sekali waktu belum dibuat jalan seperti sekarang. Waktu belum dikerjakan ini jalan, kadang butuh waktu 3 malam hingga 1 minggu untuk ke Kota Masamba (Ibu Kota Luwu Utara), itu kalau musim hujan," ujar salah seorang warga Seko, Muslimin (50), saat ditemui di rumahnya, Rabu (1/12/2020) lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Muslimin mengatakan perjalanan warga hingga berhari-hari itu bukan ditempuh menggunakan jalan kaki, melainkan menyewa ojek motor yang telah dimodifikasi untuk melintas di medan sulit. Ojek yang disewa dibayar Rp 1 juta 800 ribu untuk tiba di Kecamatan Sabbang atau jalan poros menuju Kota Masamba.
"Dulu itu jalanan dari Kecamatan Rongkong (kecamatan antara Seko dengan Sabbang) itu terowongan semua, itu kan masih ada tiang-tiang yang dibikin orang," ucapnya.
Terowongan yang dimaksud Muslimin ialah terowongan yang terbentuk karena tanah berlumpur terus menerus dilalui motor trail hingga membentuk lubang yang dalam layaknya terowongan. Tak hanya itu, warga juga harus melewati jembatan yang dibuat warga di desa yang dilalui. Setiap jembatan yang dilalui harus dibayar. Hal ini membuat ongkos untuk ke ibu kota kabupaten lebih mahal.
![]() |
"Kalau dilewati seluruh jembatan itu bisa sampai Rp 200.000, karena rata-rata 1 jembatan ongkosnya Rp 20.000, ada juga yang 10.000, ada juga yang Rp 5.000, pokoknya bervariasi sesuai dengan panjangnya itu jembatan. Kalau kita ke Sabbang itu bisa lewati puluhan jembatan," jelasnya.
Hal itu kini tak dirasakan lagi oleh warga. Dengan jalur yang sudah terbuka dan digunakan secara fungsional, kini warga hanya membayar ojek hingga Kecamatan Sabbang sebesar Rp 300.000. Waktu tempuhnya pun menjadi lebih cepat.
"Kalau sekarang kan tinggal 5 jam saja. Pengojeknya pun bisa pulang-pergi Seko-Sabbang dalam 1 hari. Kalau dulu itu pengojek bisa 1 minggu di jalan. Jadi kalau sekarang pengojek berangkat pagi-pagi dari Sabbang, tiba di sini jam 10.00 pagi, kembali dan kembali lagi ke Sabbang. Kalau dulu mana bisa," paparnya.
"Jadi kebutuhan dari kota warga menjadi mudah aksesnya. Begitu juga hasil pertanian warga yang menjadi mudah dibawa ke Kota Masamba. Pemasukan warga juga menjadi meningkat," lanjutnya.
Hal serupa diungkapkan warga Seko lainnya, Solle. Pria 70 tahun itu bahkan tak mampu menahan rasa harunya saat mengungkapkan penderitaannya dulu ketika menuju Kota Masamba.
"Seko itu miskin, tapi bukan miskin karena tidak ada sumber daya alamnya, tapi miskin karena akses jalan. Dulu kita ini orang Seko menderita di jalanan, karena biasa bisa sampai 4 malam di hutan," kata Solle.
Solle yang merupakan pensiunan PNS saat itu memang kerap melakukan perjalanan Seko-Sabbang-Masamba untuk mengurus berbagai administrasi kantor hingga belanja kebutuhan. Saat jalur belum terbuka, dia kerap menginap di tengah hutan belantara dengan beralaskan tanah.
"Sepanjang jalan yang dilalui berhari-hari itu tidak ada warung. Kalau mau menginap di hutan belantara itu kita sama pengojek yang kita sewa bikin pondok darurat saja untuk ditempati tidur. Itu pondok-pondokan atapnya kita buat pakai terpal saja, sifatnya darurat, terus tidur mi di tanah, dingin sekali," paparnya.
Jalur yang terbuka dan digunakan fungsional ini baru dinikmati warga sekitar 3 bulan ke belakang. Meluapkan rasa syukur atas terbukanya jalur Sabbang-Seko, warga bahkan memotong 3 kerbau saat Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah merayakan malam tahun baru 2020 di Seko.
"Ini kita bersyukur sekali, 3 kerbau kita potong untuk Bapak Gubernur dan rombongan di acara tahun baru," ujar Imah, salah seorang ibu yang tengah memasak untuk rombongan Nurdin di Seko.
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini