Melihat Kembali Upaya 'Mencegat' Awan Hujan Masuk Jakarta

Mesin Waktu

Melihat Kembali Upaya 'Mencegat' Awan Hujan Masuk Jakarta

Pasti Liberti Mappapa - detikNews
Jumat, 03 Jan 2020 19:04 WIB
Foto: Ilustrasi cuaca buruk (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Jakarta - Cuaca ekstrem yang terjadi enam tahun lalu di Daerah Khusus Ibukota Jakarta membuat Gubernur Joko Widodo (Jokowi) meminta bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk merekayasa cuaca bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Operasi yang kemudian disebut Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dimulai 26 Januari 2013 atau sembilan hari setelah jalan protokol mulai dari Bundaran Hotel Indonesia sampai Istana Negara terendam air.


Kepala BNPB saat itu Syamsul Maarif menyatakan operasi berbiaya Rp 13 miliar tersebut menargetkan mengurangi curah hujan yang akan jatuh ke Jakarta sampai 30 persen. "Sangat signifikan," ujarnya di Base Ops Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta seperti yang diberitakan detikcom.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Strategi pertama awan yang bisa dijatuhkan di laut, karena menurut informasi air masih cukup penuh di daratan. Jadi saya berharap hujan untuk kita tahan tidak sampai di Jakarta juga jangan sampai ke daerah lain," kata Syamsul.

Penggunaan rekayasa ini dipandang efektif mengendalikan intensitas hujan berkaca dari pemanfaatannya saat persiapan Southeast Asian Games di Palembang pada 2011.

Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan UPT Hujan Buatan BPPT saat itu Tri Handoko Seto mengklaim operasi di Palembang tersebut berhasil mengurangi curah hujan sampai 80 persen.

TMC di Jakarta dimulai dengan sebuah pesawat Hercules yang mengudara selama tiga jam di langit Jakarta dengan membawa 14 ton garam. Garam ini kemudian disemai ke awan-awan yang sedang tumbuh untuk mempercepat proses awan jadi hujan. Dengan kata lain sebelum bergerak memasuki Jakarta awan ini 'dicegat'.


Cara lain, metode Ground Particle Generator (GPG) dengan memanfaatkan potensi topografis dan angin lembah. GPG posisinya ditempatkan memanjang dari hulu di daerah Puncak, Bogor, hingga hilir di Teluk Jakarta. Bahan semainya berbentuk flare dibakar dari atas menara. Hal ini untuk merangsang terjadinya hujan.

Sehari setelah operasi tersebut diluncurkan, menurut laporan detikcom cuaca Jakarta di pagi hari cerah cenderung terik. Tri Handoko mengklaim cuaca itu merupakan hasil dari TMC. "Secara scientific belum bisa dikatakan seperti itu, tapi secara umum memang hasil dari upaya kemarin," katanya.

Menurut laporan BNPB operasi rekayasa cuaca berlangsung selama 34 hari yakni sejak 26 Januari hingga 27 Februari 2013 untuk antisipasi banjir Jakarta. Tak hanya di Jakarta modifikasi juga digelar untuk antisipasi banjir lahar dingin Merapi dan banjir di Bengawan Solo pada 3-4 Maret 2013.

Sebanyak 67 penerbangan dilakukan yaitu 45 penerbangan pesawat Hercules dan 22 penerbangan menggunakan CASA dalam operasi itu. BNPB juga menyebut sebanyak 205,8 ton bubuk garam disemai dan membakar 486 batang flare dari lokasi GPG sistem flare dan GPG sistem larutan selama 158 jam.

Klaim keberhasilan TMC sempat dikritik Thomas Djamaluddin yang saat itu menjabat Deputi Sains Lembaga Antariksa Nasional (Lapan). Menurut Djamaluddin menurut data satelit, cuaca cerah di Jakarta itu disebabkan oleh awan yang tumbuh di Laut Jawa bergerak menjauhi Jakarta menuju arah Kalimantan.

Melihat Kembali Upaya 'Mencegat' Awan Hujan Masuk JakartaFoto: Ilustrasi persiapan modifikasi cuaca dengan garam (Adi Saputro/detikcom)

Sementara awan yang tumbuh pada sore harinya di Jawa Barat bagian Selatan bergerak ke arah Jawa Tengah dan kemudian buyar. "Jadi tak ada pengaruh modifikasi cuaca pada hari sebelumnya, karena dinamika atmosfer skala besar seperti itu tidak mampu dimodifikasi oleh manusia," tulis Djamaluddin seperti yang dinukil dari blog tdjamaluddin.wordpress.com.

Djamaluddin selanjutnya menyebut meski ada TMC pada tanggal 6 Februari 2013 hujan ekstrem tetap melanda Jakarta. Hujan itu juga membuat Bundaran HI terendam walau tak separah banjir 17 Januari sebelumnya.

Mengapa rekayasa tersebut gagal? Djamaluddin yang kini menjabat Kepala Lapan menyatakan penyemaian awan untuk mengurangi liputan awan hanya dilakukan pada ketinggian 12.000 - 15.000 kaki (3,6-4,5 kilometer), artinya hanya untuk awan-awan menengah.

"Sedangkan 'memaksa turun hujan' untuk awan-awan Cumulonimbus yang menjulang tinggi lebih dari 7 km bukan hanya sulit, tetapi sangat berisiko bagi pesawat dan awaknya. Apalagi skala ruangnya sangat luas dan cepat pertumbuhannya," tulis Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu.

Doktor astronomi lulusan Kyoto University Jepang itu mengingatkan jangan berharap pada teknologi modifikasi cuaca saat Jakarta terancam dengan hujan deras dan banjir kiriman. "Solusi banjir Jakarta adalah pembenahan daerah resapan dan prasarana pengendalian banjir," katanya.
Halaman 2 dari 4
(pal/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads