Mantan Wakil Menteri Agama ini berharap para pendakwah atau dai menyelipkan isu-isu aktual dalam materi dakwahnya. "Jangan hanya baca Qur'an tapi koran juga. Jadi Qur'an dan koran itu dua-duanya dibaca. Jangan sampai kita menggunakan bahasa langit tapi juga bahasa bumi," kata Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Nasaruddin Umar dalam Blak-blakan yang tayang di detikcom, Rabu (1/1/2020).
Secara mendasar, Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Syarif Hidayatullah ini menuturkan lima cara yang perlu diperhatikan dalam berdakwah. Pertama, seorang dai atau juru dakwah memahami dirinya ingin seperti apa. Hal ini akan mengarahkan dia untuk mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin agar bisa tampil atraktif.
Kedua, mengenali sasaran atau calon pendengarnya. Sebab masing-masing pendengar punya kebutuhan materi berbeda dan perlu gaya penyampaian yang lain pula.
"Berdakwah di depan (pejabat) pemerintah, BUMN, tentu berbeda kalau berdakwah di majelis taklim belakang rumah. Harus ada penyesuaian jangan sampai seperti kaset berjalan," sambung Nasaruddin.
Pada bagian lain dia mengkritik para pengelola media, khususnya televisi yang lebih mengutamakan unsur tontonan ketimbang tuntunan. Akibatnya, program dakwa di sejumlah stasiun televisi lebih suka menampilkan para da'i muda yang kemampuan dan pemahaman ilmu agamanya terbatas asalkan tampil atraktif.
Sebaliknya para cendekiawan atau guru besar yang diketahui punya pengetahuan keagamaan yang mumpuni sesekali saja ditampilkan karena dianggap tidak menarik. "Kenapa? Karena rating. Siapa yang mau beriklan?," kata Nasaruddin yang menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal sejak Januari 2016 itu.
Kumpulan berita harian Hikmah terbaru dan terlengkap seputar Islam dan kisah inspiratif bisa dibaca di sini.
(hnf/erd)