"Sehingga dalam perspektf ini saya selalu mengedepankan pendekatan kebudayaan dalam menyelesaikan masalah. Indonesia itu kan ada keberagaman kebudayaan, pasti di dalamnya ada bahasa, sistem keyakinan, tata nilai kehidupan, itu satu kesatuan," jelas Dedi.
Hal itu diungkapkan Dedi seusai mengisi diskusi di Paviliun Indonesia pada ajang Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC-COP25) di Feria de Madrid, Madrid, Spanyol, Rabu (11/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dedi mengatakan, melestarikan alam adalah bagian dari penghambaan manusia terhadap Tuhan.
"Sehingga letak dan puncaknya dia pada penghambaan pada Tuhan yang direpresentasikan sebagai bentuk pengelolaan merawat alam karena selalu meletakkan Tuhan itu selalu bersemayam di gunung, di hutan, di sungai, di laut, di lembah, di ngarai," katanya.
"Sehingga mengelola, merawat alam adalah menghamba pada Tuhan. Sistem nilai ini berkembang pada siklus kehidupan sehingga mereka tidak mau beranjak dari lingkungannya," sambungnya.
Masyarakat adat meyakini perubahan iklim sejak dahulu yang disebut dengan musim pancaroba.
"Pancaroba itu di dalamnya mengajarkan bahwa suatu saat akan terjadi perubahan dalam sistem pengelolaan alam di dunia, termasuk di Indonesia yang akan mengalami percepatan waktu menuju kehancuran," kata Dedi.
Masyarakat yang menerapkan cara-cara tradisional dianggap sebagai bagian dalam upaya konservasi.
"Karena tidak mau beranjak dari lingkungannya, sehingga itu adalah sisi perspektif konservasi mereka adalah menjaga konservasi. Karena mereka menjaga konservasi, sudah semestinya kita ini negara menjadikan mereka sebagai aset bangsa atau polisi budaya dalam menjaga keutuhan alam indonesia, maka diperlukan undang-undang perlindungan adat," paparnya.
"Kedua, memahami hutan itu sebagai kekayaan spirit kita, karena kekayaan spirit, sudah semestinya undang-undang tentang hutan, saya menyebutnya undang-undang kehutanan nasional yang di dalamnya ditekankan pada aspek konservasi. Karena konservasi saja, kita akan mendapat multi player efektif guna," tambahnya.
Akan tetapi, di era globalisasi ini, ia menilai perlu dibentuk undang-undang yang mengatur tentang kebudayaan hayati dan ekosistem.
"Masyarakat milenial sebenarnya titik tekannya pada satu ketaatan pada UU, sedangkan masyarakat tradisional, ketaatannya ada mistik. Orang Indonesia saat ini meninggalkan mistik tetapi tidak taat undang-undang, jadi ada kekosongan. Untuk itu dua-duanya harus tetap hidup, karena masyarakat mistik harus tetap hidup karena iu adalah kekayaan spiritual budaya Indonesia, kemudian UU harus segera disempurnakan dan penegakan hukum paling utama," tandasnya
Halaman 2 dari 2
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini