Pasalnya selama ini, menurut Hesto , apa yang menjadi putusan di MK tak menjadi rujukan di Mahkamah Agung (MA).
"Masih banyak pekerjaan untuk menyempurnakan bagaimana MK itu bisa tumbuh. Saya menyarankan dalam tulisan saya pengujian peraturan perundang-undangan itu satu pintu saja," ujar Hesto usai sesi wawancara calon hakim konstitusi, di Aula Gedung Kemensetneg, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen hukum tata negara,Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini juga menyinggung terkait lamanya perubahan terhadap undang-undang hasil putusan di MK. Terlebih lagi tidak adanya sanksi bagi lembaga negara pembentuk undang-undang.
"Lalu tidak ada sanksi bagi lembaga negara pembentuk UU ketika merumuskan kembali yang sudah dibatalkan. Nah ini kan harus ada penguatan MK. Oleh sebab itu, dalam UU MK yang baru harus ada ketentuan bahwa begitu diputuskan maka selang berapa minggu, beberapa bulan itu harus dilaukan perubahan terhadap UU tersebut," ucap Hesto.
Dia menilai saat ini putusan MK hanya disampaikan dalam prolegnas tanpa dilakukan perubahan secara cepat.
"Nah ini sampai kan enggak, banyak sekali UU yang masuk daftar kumulatif terbuka termasuk putusan MK itu hanya disampaikan saja dalam prolegnas. Tapi dilakukan perubahan belum secara cepat. UU tentang pembentukan perundang undangan juga baru tahun 2019, UU tentang MD3 baru tahun kemarin dan semua ini terkait dengan soal kepentingan politik," kata Hesto.
Palguna Akan Pensiun, Pansel Cari Pendaftar Hakim MK Baru:
(eva/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini