Setara Institute Anggap Kebebasan Ekspresi di Zaman Jokowi Punya Catatan Buruk

Setara Institute Anggap Kebebasan Ekspresi di Zaman Jokowi Punya Catatan Buruk

Nur Azizah Rizki Astuti - detikNews
Selasa, 10 Des 2019 15:11 WIB
Foto: Direktur Eksekutif SETARA Institute Ismail Hasani (Azizah-detikcom)
Jakarta - Setara Institute mencatat adanya peningkatan skor kinerja HAM pada pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun, ada sejumlah catatan buruk untuk kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan penuntasan pelanggaran HAM masa lalu.

Ada 11 indikator HAM yang diteliti oleh SETARA yang terbagi dalam dua kategori besar, yaitu hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. SETARA memberikan skor untuk masing-masing indikator tersebut dalam rentang skala 1-7.

"Pada tahun 2015, saat memulai kerja pertama, Jokowi mencatat kinerja HAM pada angka 2,45 dan membukukan capaian di 2019 pada angka 3,2. Jika merujuk pada total skor dari 11 indikator yang digunakan, tampak bahwa kinerja pemerintah dalam pemajuan HAM meningkat 7,6 poin dari 2,45 menjadi 3,2," kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (10/12/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekalipun mengalami peningkatan, menurut Ismail hal itu tidak signifikan karena masih di bawah skala 4 (moderat). Peningkatan skor ini disumbang oleh kemajuan di hampir semua indikator, terutama dalam bidang eskonomi, sosial, budaya.



"Catatan terburuk justru ada pada hak untuk bebas beragama atau berkeyakinan, penuntasan pelanggaran HAM masa lalu, dan kebebasan berekspresi," ujarnya.

Peneliti HAM dan Perdamaian SETARA Institute Selma Theofany menjelaskan insiden pelanggaran kebebasan beragama terjadi dengan adanya penguatan radikalisme dan ekstremisme yang diikuti dengan kekerasan. Pemerintah daerah, kepolisian, institusi pendidikan, Satpol PP, dan pengadilan menjadi aktor negara yang paling banyak melakukan pelanggaran sepanjang 2015-2018.

"Sementara untuk aktor non-negara tertinggi di antaranya kelompok warga, ormas keagamaan, MUI, FPI, dan individu. Pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dilatarbelakangi oleh politisasi SARA yang meningkatkan antagonisme antarmasyarakat, regulasi diskriminatif dan tidak berparadigma KBB," ujar Theo.

"Dan perkembangan narasi keterancaman atau penguatan radikalisme yang dijadikan justifikasi tindakan eksesif pemerintah dan oknum masyarakat," imbuhnya.



Terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, Theo menyebut di periode ini mengalami kemandekan dan tidak ada inisiasi yang signifikan. Theo menyoroti dikembalikannya berkas sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dari Kejaksaan Agung ke Komnas HAM serta tim terpadu bentukan pemerintah yang menurutnya tidak dapat bekerja efektif.

"Klaim pendekatan non-yudisial yang dilakukan pemerintah belum memenuhi makna substantif remedy non-yudisial dan tidak cukup untuk meniadakan pendekatan yudisial untuk mengembalikan kebenaran, keadilan, rehabilitasi, dan repatriasi korban. Sejumlah kelompok kerja yang dibentuk pemerintah tidak dapat bekerja secara efektif," ungkap Theo.



Selain itu, Theo menyebut ruang kebebasan sipil untuk berekspresi semakin berkurang di periode pemerintahan Jokowi yang pertama. Theo menyoroti aksi unjuk rasa yang diwarnai kekerasan dari aparat keamanan seperti pada aksi 21-22 Mei dan demontrasi #ReformasiDikorupsi beberapa waktu lalu.



Theo juga menemukan pembatasan penyampaian pendapat di ruang publik serta adanya intimidasi seperti pembubaran diskusi dan razia buku 'kiri'. Berkurangnya ruang kebebasam berekspresi juga merambah ranah digital dengan adanya penyalahgunaan UU ITE.

"Dalam berbagai bentuk ruang publik, kebebasan sipil mengalami penyempitan dengan adanya kriminalisasi atas ekspresi dan pendapat yang disampaikan dengan justifikasi interpretasi peraturan perundang-undangan yang tidak berspektif HAM," sebut dia.

Penyampaian hasil penelitian SETARA Institute ini juga dihadiri Komisioner KPAI Retno Listyarti, Direktur Yayasan Satu Keadilan Syamsul Alam Agus, dan staf Direktorat Advokasi AMAN Sinung Karto.
Halaman 2 dari 3
(azr/rvk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads