Hal itu disampaikan kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa. Salah satunya menceritakan seorang pasien bernama Edy Mulyono, seorang duda berusia 48 tahun dan sudah 6 tahun cuci darah.
"Pasien tidak lagi bekerja dan hidup dengan mengontrak di sebuah rumah petak di Jakarta. Ingin mendaftar menjadi peserta JKN Penerima Bantuan Iuran (PBI), namun tidak berdaya karena harus berjuang sendiri," kata Rusdianto saat berbincang dengan detikcom, Jumat (6/12/2019).
Ada juga pasien bernama Rosidah (34). Pekerjaan suami Rosidah sebagai pedagang tukang kopi keliling atau bekerja sebagai kuli bangunan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun Yanuar (49), hanya pasien yang mendapatkan peserta JKN-Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sedangkan sang istri harus rela ikut di kelas BPJS Kesehatan kelas mandiri Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
"Adanya fakta-fakta penonaktifan kepesertaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) tanpa sosialisasi dan fakta masih sulitnya Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi fakir miskin dan orang tidak mampu menjadi bukti salah pengelolaan dalam mengelola BPJS," kat Rusdianto menegaskan.
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kesehatan dalam hal ini BPJS lebih mementingkan terlebih dahulu segi adminitrasi. Namum masih saja melupakan kewajibannya menjamin hak setiap warga negaranya yang berhak memperoleh layanan kesehatan atau keselamatan jiwa dari warga negaranya.
"Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi lagi, terutama bagi pasien dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal yang mengharuskan cuci darah guna menyelamatkan nyawanya," ujar Rusdianto.
Oleh sebab itu, para pasiden cuci darah ini meminta Perpres 75/2019 itu untuk dihapuskan. Permohonan judicial review ini telah didaftarkan ke MA pada Kamis (5/12) kemarin.
RSUD Banjar Layani Penyakit Jantung Peserta BPJS Kesehatan:
(asp/asp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini