Itulah yang dirasakan salah seorang guru sekolah dasar (SD) di sekolah Taruna Papua di Timika, Franco (30).
Sebagai warga asli Timika, Franco paham betul dengan kondisi pendidikan di tempat tinggalnya. Mulai dari minimnya keinginan untuk bersekolah hingga tertinggalnya pelajaran yang didapat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang buat bahagia, mereka belum bisa baca jadi bisa baca itu bahagia sekali. Saya tahu lebih, saya orang asli sini," ucap Franco saat dihubungi detikcom Senin (25/11/2019).
Franco bercerita setelah lulus beasiswa kuliah bahasa Inggris di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya pada tahun 2017, dirinya mendapat 'panggilan' untuk mengajar di sekolah asrama Taruna Papua di Timika.
Ia yang sudah mengajar hampir dua tahun di sekolah ini mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris kelas 1 sampai 3 SD serta mengajar kegiatan ekstrakurikuler taekwondo dan menari.
Saat awal-awal kuliah, Franco mengaku kesulitan dengan pelajaran yang diterimanya. Ia juga berfikir jika dibanding teman-temannya yang lain dari Surabaya sangat mudah menerima pelajaran. Mungkin, kata Franco, hal ini disebabkan dari pelajaran yang diterimanya di sekolah sebelumnya.
Franco mengatakan pernah mengajar tiga bulan lebih di SMP saat masih di Surabaya. Jika dibandingkan dengan murid yang ia ajar di sekolahnya saat ini, ia bisa merasakan perbedaannya.
Jika saat di Surabaya siswa itu pagi sekolah dan sorenya ditambah dengan les, di Sekolah Taruna Papua dirinya harus mengajar siswa yang memang belum mengenal pendidikan sama sekali.
"Ngajar 3 bulan lebih, karena muridnya sudah SMP kan dan sekolah sorenya les, jadi kelihatan sekali bedanya. Di sini kan (siswanya orang) pedalaman langsung, harus dari nol betul," ujarnya.
"Kesulitannya kadang kita ngajar anak yang belum ngerti pendidikan, dari nol bahkan minus. Anaknya dari pedalaman, kita harus menyesuaikan, jadi orang tua mereka, kaya bunglon, belajar seperti dirinya. Selain itu kesulitannya (siswa) masih kecil, sangat kecil sekali, ada juga yang belum bisa Bahasa Indonesia," imbuhnya.
Atas dasar itulah, dirinya mengatakan tetap mengajar, termasuk ingin jadi model tak hanya bagi siswa di sekolah, tetapi juga bagi masyarakat Papua, terutama Timika.
"Sehingga di sini mereka bisa bilang, oh ini modelnya kaya gini yah, jadi contoh. Saya juga salah satu dari mereka beberapa tahun yang lalu dan sekarang bisa kaya gini. Nah itu kita jadi model bukan hanya di sekolah, tapi di luar. kayanya sekolah ini bagus, akhirnya mereka mau sekolah," ujarnya.
Lebih lanjut Franco menjelaskan meski sudah ada beberapa sekolah di Timika, Papua, keinginan warga sekitar untuk bersekolah masih minim. Makanya modal keinginan bersekolah saja terlebih dahulu, menurut Franco, sudah lebih dari cukup.
"Yang penting masuk dulu, anak-anak Papua kurang sekali pendidikan. Kalau jumlah sekolah sudah cukup ada di Timika ini, keinginan untuk sekolah kurang. Makanya saat ada anak lagi ingin-inginnya sekolah, langsung dipanggil," ucap Franco.
Franco mencontohkan sekolah asrama tempatnya mengajar, meski segala biaya dan kebutuhan sekolah sudah digratiskan dan tanpa seleksi masuk, yang berlaku selanjutnya adalah seleksi alam.
"Banyak anak sekarang yang ingin sekolah, tapi orang tuanya bilang kamu di sini saja bantu orang tua. Masuk sekolah di sini tanpa seleksi. Kalau seleksi, anak-anak papua pendidikan kaya gini, tinggal seleksi alam yang berjalan, kalau misalnya orang tuanya disuruh dia kembali," ujar Franco.
"Fasilitas sudah ada semua. anak ingin sekolah digratiskan, modal pakaian di badan saja, seminggu pertama sudah dibagikan baju sepatu semua semua. Modal keinginan saja sudah lebih," imbuhnya.
Franco juga menjelaskan biasanya saat sudah ada kakak yang bersekolah di sekolah ini, sang adik akan mengikuti. Untuk masyarakat pedalaman, ada tim khusus yang datang ke lokasi dan misalnya meminta izin ke kepala desa untuk mengajak anak-anak bersekolah di Taruna Papua.
Di momen hari guru nasional ini, Franco juga mengajak guru-guru untuk sama-sama menjunjung nama guru, mendidik pemuda-pemudi Indonesia agar menjadi manusia yang berguna ke depannya nanti. pasalnya, kata Franco, hanya guru yang dapat melakukannya.
Sebagai informasi, sekolah asrama Taruna Papua dikelola oleh Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) yang biayanya 100% dibiayai PT Freeport Indonesia. Sekolah ini, kata Franco, memiliki 700-an siswa, terutama dari pedalaman Papua.
Adapun guru sekolah ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kata Franco، berasal dari Sabang sampai Merauke. Saat ini, sekolah juga masih membutuhkan guru tambahan.
Simak Video "Jadi Staf Khusus, Gracia Ajak Jokowi Bangun Indonesia dari Papua"
(ega/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini