Wahyumi menilai bila kembali terjadi, bukti yang dimiliki korban lebih baik dilakukan untuk bukti saat melakukan pelaporan pada Polisi. Menurutnya, bukti berupa foto tidak perlu diviralkan, mengingat dapat masuk dalam UU ITE.
"Kalau kemudian itu difoto kemudian dipakai alat bukti untuk laporan polisi, itu relatif lebih pas atau lebih tepat. Tapi kalau kemudian itu diviralkan tujuannya untuk apa?, mungkin untuk penjeraan atau sebagainya. Tapi perlu difikirkan juga, kalau nanti wajah dan sebagainya bisa jadi bisa kena UU ITE. Jadi itu yang perlu difikirkan buat para korban, jadi melapor saja dengan berbagai peluang bukti," kata Wahyuni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah persoalannya, soal ini masuk kategori apa ya dari perundang-udangannya, makanya diperlukan yang rencana UU penghapusan kekerasan seksual itu segera disahkan. Karena memang ini kalau dilaporkan ke Polisi ini sesuatu yang tidak sopan, sesuatu yang tidak merendahkan harkat martabat perempuan, tetapi kalau di masukan dalam pencabulankan pemahamannya kan harus ada sentuhan fisik. Nah, sentuhan fisiknya apa, walaupun dilempar dengan sperma misalnya seperti itu," ujat Wahyuni.
Seperti diketahui kasus teror cabul tersebut diduga telah terjadi beberapa kali. Bahkan aksi pelaku viral setelah diposting oleh seorang pria berinisial RF pada Kamis 13 November 2019 lalu.
RF memosting cerita yang menimpa istrinya, LR. Saat itu sang istri berada di Jalan Letjen Mashudi untuk menunggu ojek online tiba-tiba dihampiri oleh seorang pria naik sepeda motor jenis matic pada Kamis siang sekitar pukul 14.45 WIB.
Pria yang menggunakan jaket hitam dan helm itu berbuat cabul dengan meraba dan memainkan alat kelaminnya sendiri sambil melihat korban. Tak lama pria itu melempar cairan yang diduga sperma ke tubuh korban korban.
(dwia/knv)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini