Mediasi tersebut tidak berhasil karena pihak penggugat Mifta Adita Wulandari dan Suwarto tak terima dengan penawaran damai yang diajukan pihak Kemenpan RB.
Dalam resume mediasi yang diajukan Kemenpan RB, pihaknya menolak permohonan untuk memberikan kebijakan khusus atau afirmasi kepada calon pelamar yang berstatus P1 atau P1/TL.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan bagi pelamar P1/TL yang memilih tidak mengikuti SKD tahun 2019, maka nilai SKD yang digunakan adalah nilai terbaik antara nilai SKD tahun 2018 dengan nilai SKD tahun 2019. Nilai SKD pelamar P1/TL akan diperingkat dengan nilai SKD dengan peserta seleksi CPNS tahun 2019 lainnya yang memenuhi nilai ambang batas kelulusan pada setiap jenis formasi dan jabatan yang dilamar.
Akan tetapi, pihak pengacara penggugat, Pitra Romadoni menolak usulan itu karena permintaannya agar Kemenpan RB memberikan kebijakan khusus bagi penggugat tidak dikabulkan. Ketua Majelis Hakim, Agus Widodo lalu mempersilakan pihak penggugat membacakan gugatan permohonannya.
Pitra meminta agar hakim menyatakan Kemenpan RB melakukan perbuatan melawan hukum karena mengeluarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi No. 61 Tahun 2018 pada saat sedang berlangsungnya seleksi CPNS Tahun 2018. Serta meminta agar hakim mempertimbangkan pengangkatan PNS drg. Romi Syofpa Ismael yang statusnya masih P2/L menjadi rujukan untuk mengangkat penggugat.
"Memerintahkan tergugat dan turut tergugat II untuk mengangkat penggugat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) sama halnya seperti Drg. ROMI SYOFPA ISMAEL yang telah diangkat oleh tergugat dan turut tergugat II," kata Pitra, membacakan gugatan permohonannya, di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Rabu (13/11/2019).
Hakim memutuskan untuk melanjutkan sidang pada Rabu mendatang (20/11) dengan agenda jawaban dari pihak tergugat.
Usai persidangan, Pitra mengaku akan mengajukan gugatan Judicial Review terkait Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi No. 61 Tahun 2018. Menurutnya aturan tersebut bertentangan dengan undang-undang dan bisa berpotensi membatalkan para peserta yang sebelumnya sudah diangkat menjadi PNS.
"Makanya kemarin-kemarin kenapa kita nggak langsung judicial review, kita masih menunggu melalui pengadilan. Tapi niat baik teman-teman CPNS P1/TL ini dipandang sebelah mata oleh para tergugat, dalam hal ini Kemenpan RB. Secara tidak langsung mereka telah menunjukkan sikap arogansi terhadap perjuangan kawan-kawan P1/TL," kata Pitra.
"Akan tetapi saya selaku kuasa hukum para CPNSakan mengajukan judicial review terhadap Permenpan RB No 61 tahun 2018 untuk dibatalkan. Karena apa? Mediasi kita ini tidak ada putusan yang akurat di sini. Ini hanya menjelaskan tapi tidak ada keputusannya. Jadi ngapain bermediasi bila tidak ada keputusannya," sambungnya.
Diketahui, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ( Menpan RB) Syafruddin, Kepala BKN Bima Haria Wibisana serta Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) digugat secara perdata oleh 261 orang yang mengaku sudah lulus seleksi kompetensi dasar (SKD) CPNS 2018. Para penggugat meminta ganti rugi imateriil senilai Rp 3,9 miliar.
Salah satu penggugat, Mifta, mengatakan dirinya dirugikan dengan adanya Permenpan RB nomor 61 tahun 2018 yang diterbitkan pada tahapan seleksi. Dia awalnya mengaku sudah dinyatakan lulus berdasarkan Permenpan RB nomor 37 tahun 2018.
Namun menurutnya, Permenpan RB nomor 61 tahun 2018 tersebut membuat dirinya rugi. Dia menyebut aturan itu tidak lagi mengikuti standar passing grade tapi dengan cara menyaring kembali dengan rangking kepada mereka yang tidak lulus, sehingga dia mengaku dirinya yang awalnya lulus passing grade gagal menjadi PNS akibat tindakan para tergugat.
Simak juga video "Passing Grade CPNS 2019 Turun, MenPAN-RB: Soal Kebangsaan Ditambah"
(yld/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini