"Kalau saya pribadi, perlu ada penelitianlah, riset, yang bisa membandingkan manfaat dan mudaratnya. Kalau dipandang pilkada langsung ini lebih banyak mudaratnya, oleh karena misalkan kepala daerah banyak tersangkut hukum, karena persoalan ongkos politik yang begitu tinggi, lalu membuat adanya perpecahan di masyarakat," kata Rudianto kepada wartawan di Makassar, Sulsel, Selasa (12/11/2019).
Rudianto mengatakan, bila hasil evaluasi Kemendagri mendukung fakta banyak terjadi politik uang dan perpecahan, dirinya mendukung pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kan kalau lewat DPR pengawasannya relatif mudah. Hanya mengawasi sekitar 50 anggota Dewan. Kalau dulu kan kenapa pemikiran langsung karena DPR ditengarai ada transaksi apa segala macam. Sekarang ini sama, pemilihan langsung money politics-nya lebih gila lagi. Karena langsung ke masyarakat " terangnya.
"Ini kan pilihannya sama sama demokrasi, demokrasi langsung dan tidak langsung," imbuhnya.
Dia pun akan menerima jika seandainya pemerintah pusat memutuskan pilkada dilakukan lewat DPRD.
"Secara pribadi jujurnya, sebagai bagian ilmu ketatanegaraan, memang sejatinya kalau saya pandang dan lihat, saat ini memang lebih banyak mudaratnya pilkada langsung. Jujur setelah melihat dampak pilkada langsung, memang sebaiknya dipercayakan kepada DPRD. Tapi wacana saya mari kita teliti, kita telaah baik baik," sambung Rudianto.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan usulan rencana kepala daerah dipilih DPRD masih ditampung pemerintah. Mahfud memastikan rencana tersebut dibahas. Namun dia mengatakan belum dipastikan apakah sistem pemilihan kepala daerah akan diganti.
"Dibahas pasti, tapi apa diubah atau nggak, itu nanti," kata dia.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai sistem pemilu itu menimbulkan dampak negatif, yakni biaya politik yang tinggi.
"Kalau dari saya sendiri justru pertanyaan saya adalah apakah sistem politik pemilu-pilkada ini masih relevan setelah 20 tahun? Banyak manfaatnya partisipan demokrasi meningkat. Tapi juga kita lihat mudaratnya ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau nggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati, mana berani dia," ujar Tito. (fiq/fdn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini