Tuntutan KPK Tak Mempan untuk Sofyan

Round-Up

Tuntutan KPK Tak Mempan untuk Sofyan

Tim detikcom - detikNews
Senin, 04 Nov 2019 21:03 WIB
Sofyan Basir memanjatkan doa setelah mendengar vonis bebas yang dibacakan majelis hakim. (Grandyos Zafna/detikcom)
Jakarta - Kedua tangan Sofyan Basir menengadah seraya memanjatkan doa. Vonis bebas dari ketokan palu hakimlah yang memang Sofyan dambakan.

"Sekali lagi saya bersyukur kepada Allah, kepada pemerintah, dan semua pihak yang membantu proses ini sehingga bebas," kata Sofyan selepas pembacaan vonis kepadanya.

Mantan Direktur Utama PT PLN itu lolos dari tuntutan jaksa KPK. Dalam lembar tuntutan tersebut, jaksa meminta majelis hakim menghukum Sofyan dengan pidana 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT




Bebasnya Sofyan membuat jaksa terperangah. Namun kesempatan untuk mengajukan banding atas vonis itu tetap membuat jaksa istikamah.

"Yang jelas, kami mempelajari putusan hakim dulu baru menyatakan sikap," kata Ronald Ferdinand Worotikan sebagai salah satu jaksa yang bertugas dalam persidangan itu.

Senyum Sofyan pun melebar. Langkahnya mantap keluar dari rumah tahanan KPK yang dihuninya sejak 27 Mei 2019.

Lantas, kasus apa sebenarnya yang membuat Sofyan terjerat hingga akhirnya terbebaskan itu?



Semuanya bermula pada Juli 2018 ketika tim KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap beberapa orang. Saat itu tebersit kabar seorang anggota DPR aktif dari Partai Golkar terjaring KPK. Dialah Eni Maulani Saragih, yang saat itu bertugas di Komisi VII DPR yang membidangi energi.

Dalam waktu 1x24 jam setelahnya, KPK yakin menetapkan 2 tersangka. Eni menjadi salah satunya, sedangkan seorang lagi adalah pengusaha bernama Johanes Budisutrisno Kotjo.




Duduk persoalannya saat itu dijelaskan bahwa Kotjo adalah pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd (BNR), yang menjadi induk usaha PT Samantaka Batubara. Dengan kendaraan bisnisnya itu, Kotjo turut menggandeng investor asal China bernama China Huadian Engineering Company Ltd (CHEC). Tujuannya, Kotjo ingin mengerjakan proyek Independent Power Producer Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (IPP PLTU MT) Riau-1.

Namun keinginan Kotjo terhambat lantaran proses pendekatannya dengan PT PLN selaku pemilik proyek terkendala. Kotjo pun sowan ke kawan lamanya yang memang bukan nama asing, yaitu Setya Novanto. Saat itu pula Novanto menjabat Ketua DPR. Dari obrolan dua sahabat lama itu, nama Eni muncul dari Novanto untuk membantu Kotjo bertemu langsung dengan Sofyan sebagai Direktur Utama PT PLN.




Ternyata ada maksud lain di balik urusan bisnis. Kotjo sudah menyiapkan catatan pendanaan yang akan dibagikannya ke sejumlah orang bila proyek itu berhasil. Di tengah perjalanan, Novanto terjerat kasus di KPK. Eni, yang merasa bergantung pada Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar, berpindah haluan ke Idrus Marham sebagai pelaksana tugas Ketua Umum Partai Golkar.

Singkat cerita, Eni menerima suap dari Kotjo. Belakangan, Idrus turut dijerat KPK mengarahkan suap tersebut untuk kepentingan partai. Hukuman bagi tiga serangkai itu sudah dibacakan. Namun hanya Eni dan Kotjo yang vonisnya telah berkekuatan hukum tetap, sedangkan Idrus masih berjuang mengupayakan kasasi di Mahkamah Agung (MA).

Lalu, apa hubungannya dengan Sofyan?



Dalam surat dakwaan ketiga orang di atas, nama Sofyan tertulis jelas mengikuti berbagai pertemuan untuk kepentingan proyek. Pembicaraan demi pembicaraan yang muncul pada pertemuan itu terkuak dalam persidangan. KPK menangkap apa yang terjadi dalam persidangan.

Pada 23 April 2019, KPK melalui wakil ketuanya, Saut Situmorang, menyebut Sofyan diduga turut serta membantu Eni mendapatkan suap dari Kotjo. Saut juga menyebut Sofyan menerima janji berupa commitment fee atau uang komitmen. Sofyan resmi menjadi tersangka.

Waktu bergulir hingga pada Juni 2019 Sofyan duduk sebagai pesakitan. Sofyan didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 11 juncto Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP.




"Dengan sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan," ucap jaksa KPK saat membacakan surat dakwaan dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (24/6) itu.

Sejatinya, ada pasal yang termasuk jarang digunakan KPK, yaitu Pasal 15 UU Tipikor. Berikut ini isinya:

Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Persidangan demi persidangan terlewati hingga suatu pagi menjelang pembacaan vonis pada 4 November 2019 seorang Sofyan menyampaikan harapan. Dia merasa apa yang dituntutkan jaksa kepadanya tidaklah tepat.

"Ya bebas harapannya ya," kata Sofyan.

Tuntutan KPK Tak Mempan untuk SofyanSofyan Basir melangkahkan kaki keluar dari rumah tahanan KPK setelah divonis bebas. (Ari Saputra/detikcom)


Dan benar saja, beberapa jam setelahnya hakim membacakan vonis bebas untuk Sofyan. Segala dakwaan KPK yang disusun itu akhirnya dimentahkan oleh hakim. Menurut majelis hakim, Sofyan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana.

"Mengadili menyatakan terdakwa Sofyan Basir tidak terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan pertama dan kedua," kata hakim ketua Hariono saat membacakan amar putusan dalam sidang.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads