Jakarta - Mantan Menpora
Imam Nahrawi meminta status tersangkanya dibatalkan dalam kasus dugaan suap terkait dana hibah KONI. Imam menilai penetapan tersangka terhadap dirinya oleh
KPK tidak sesuai prosedur.
"Menyatakan penetapan tersangka terhadap Imam Nahrawi (pemohon) yang didasarkan pada Surat Perintah Penyidikan Nomor Sprin.Dik/94/DIK.00/01/08/2019, tanggal 28 Agustus 2019 terkait dugaan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata pengacara Imam, Saleh, dalam sidang praperadilan di PN Jaksel, Jl Ampera Raya, Jakarta Selatan, Senin (4/11/2019).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saleh mengatakan penetapan tersangka terhadap kliennya tidak sesuai prosedur. Dia menyebut belum ada pemeriksaan saksi-saksi sebelum dikeluarkannya sprindik tanggal 28 Agustus 2019.
"Salah satu yang kita soal kaitan dengan penetapan Pak Imam Nahrawi sebagai tersangka itu adalah satu ternyata Pak Imam Nahrawi ini, belum diperiksa sebagai calon tersangka, sebagaimana amanah dari putusan MK nomor 21 tahun 2014. Harus dilakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka, itu tidak dilakukan," kata Saleh.
Saleh menyebut usai penetapan tersangka, Imam langsung diperiksa KPK dan ditahan. Menurutnya, selama di BAP pertama kali pihaknya tak pernah ditunjukkan barang bukti yang mendasarkan dia ditetapkan jadi tersangka.
"Selain termohon tidak pernah menunjukkan bukti permulaan yang cukup sesuai dugaan suap dan gratifikasi pada saat pemeriksaan pemohon sebagai tersangka pada 27 September, sampai saat ini belum ada tindakan upaya paksa berupa penyitaan dan penggeledahan yang disertai berita acara penyitaan dengan izin Ketua Pengadilan terkait dugaan penerimaan suap dan gratifikasi yang disematkan kepada pemohon Rp 26,5 miliar," kata Saleh.
Ia menilai ada tindakan kesewenang-wenangan KPK dalam memperoleh barang bukti untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka. Selain itu, Saleh juga mempersoalkan penahanan yang dilakukan KPK.
"Kita persoalkan kaitan dengan penahanan di tanggal 27 September 2019. Kenapa kita persoalkan? Karena yang melakukan penahanan di tanggal 27 September adalah Agus Rahardjo, selaku penyidik. Sementara kita tahu bahwa Pak Agus Rahardjo sendiri loh yang ngomong di media, ia menyerahkan mandat kepada Presiden tanggal 13 September 2019," kata Saleh.
"Selain itu Pak Saut Situmorang juga sudah menyatakan mengundurkan diri. Nah oleh karena itu ini kolektif kolegial-nya kita kemudian jadikan materi praperadilan," sambungnya.
Tak hanya itu, dia mengatakan kasus dana hibah KONI juga telah diusut Kejaksaan Agung, sehingga menurutnya tidak ada koordinasi antara KPK dengan Kejagung. Ia menilai ada dua institusi yang mengusut kasus yang sama tidak boleh dilakukan, melainkan harus koordinasi.
"Tumpang tindih ini yang kalau menurut undang-undang itu tidak boleh dilakukan, harus ada koordinasi yang jelas kemudian," ujarnya.
Saleh juga menyinggung terkait UU 19/2019 tentang KPK yang baru disahkan DPR. Ia meminta penyidikan terhadap kliennya dihentikan karena tidak memakai UU baru.
"Undang-undang yang baru nomor 19 tahun 2019, mengamanatkan pasal 70C, jadi bahasanya agak lain, proses penyelidikan, yang proses penyidikan, yang proses penuntutan masih belum selesai maka harus menggunakan undang-undang yang baru, sehingga kemudian kita masukan dalam materi, bahwa seharusnya ini proses penyidikannya juga batal di hukum, karena tidak menggunakan undang-undang yang baru," kata Saleh.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini