"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini, menyatakan terdakwa Markus Nari terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata jaksa KPK saat membacakan surat tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (28/10/2019).
Jaksa mengatakan perbuatan Markus selaku anggota Badan Anggaran ikut membahas pengusulan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 1,045 triliun. Kemudian Markus Nari menemui pejabat Kemendagri Irman selaku Dirjen Dukcapil saat itu dengan meminta fee proyek e-KTP sebesar Rp 5 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Atas permintaan itu, jaksa menyebut Irman memanggil Sugiharto selaku pejabat pembuat komitmen saat itu untuk memberikan uang kepada Markus Nari. Sugiharto meminta uang kepada Dirut PT Quadra Solution Anang Sugiana dan diserahkan USD 400.00 ribu.
Markus juga menerima uang USD 1.000.000 bersama Melchias Mekeng sebagai Ketua Banggar DPR dari Andi Narogong melalui Irvanto Hendra Pambudi saat berada di ruang kerja Setya Novanto yang menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR. Penerimaan itu saat anggaran proyek e-KTP masih dibahas di DPR.
"Dalam putusan atas nama terdakwa Setya Novanto pada halaman 100.613, dalam keterangan tersebut yang menerima yaitu Melchias Mekeng sebesar USD 500 ribu, dalam hal tersebut maka USD 1 juta, yang diterima Mekeng sebesar USD 500 ribu, sehingga jumlah uang fee yang diterima terdakwa USD 500 ribu. Dengan demikian total uang fee yang diterima oleh terdakwa adalah 900 ribu dollar Amerika Serikat," papar jaksa.
Perbuatan Markus Nari juga memperkaya orang lain dan korporasi. Berikut daftar yang diuntungkan tersebut:
1. Setya Novanto USD 7,3 juta
2. Irman sebesar Rp 2.371.250.000, USD 877.700, dan SGD 6.000.
3. Sugiharto USD 3.473.830.
4. Andi Agustinus alias Andi Narogong USD 2.500.000 dan Rp 1.186.000.000.
5. Gamawan Fauzi Rp 50.000.000 dan 1 unit Ruko di Grand Wijaya dan sebidang tanah di Jalan Brawijaya III melalui Asmin Aulia.
6. Diah Anggraeni USD 500.000 dan Rp 22.500.000.
7. Drajat Wisnu Setyawan USD 40.000 dan Rp 25.000.000.
8. Miryam S Haryani USD 1.200.000.
9. Ade Komarudin USD 100.000.
10. M Jafar Hafsah USD 100.000.
11. Husni Fahmi USD 20.000 dan Rp 10.000.000.
12. Tri Sampurno Rp 2.000.000.
13. Beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014 USD 12.456.000 dan Rp 44.000.000.000.
14. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku Direksi PT LEN Industri masing-masing Rp 1.000.000.000 serta untuk kepentingan gathering dan SBU masing-masing Rp 1.000.000.000.
15. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri Rp 2.000.000.000.
16. Johannes Marliem sejumlah USD 14.880.000 dan Rp 25.242.546.892.
17. Beberapa anggota Tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Supriyantono, Setyo Dwi Suhartanto, Benny Akhir, Dudy Susanto, dan Mudji Rachmat Kurniawan, masing-masing Rp 60.000.000.
18. Mahmud Toha Rp 3.000.000.
19. Manajemen Bersama Konsorsium PNRI Rp 137.989.835.260.
20. Perum PNRI Rp 107.710.849.102.
21. PT Sandipala Artha Putra Rp 145.851.156.022.
22. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra Rp 148.863.947.122.
23. PT LEN Industri Rp 3.415.470.749.
24. PT Sucofindo Rp 8.231.289.362.
25. PT Quadra Solution Rp 79.000.000.000.
26. Anggota panitia pengadaan barang/jasa sebanyak 6 orang masing-masing Rp 10.000.000.
Akibatnya, negara mengalami kerugian Rp 2,3 triliun dari perbuatan Markus Nari. Atas perbuatan itu, Markus diyakini bersalah melanggar Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Selain itu, Markus juga diyakini bersalah merintangi penyidikan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP. Markus disebut sengaja mencegah atau merintangi pemeriksaan di sidang terhadap Miryam S Haryani yang saat itu berstatus sebagai saksi dan Sugiharto yang kala itu berstatus sebagai terdakwa.
Markus meminta pengacara Anton Tofik dan Robinson untuk memantau perkembangan perkara korupsi proyek e-KTP. Anton yang menerima SGD 10 ribu dari Markus berhasil mendapatkan berita acara pemeriksaan (BAP) atas nama Miryam S Haryani dan Markus.
Markus memerintahkan Anton untuk membujuk Miryam agar tidak menyebut namanya dalam persidangan. Anton meminta pengacara Miryam S Haryani, Elza Syarief, agar mencabut keterangan yang menyebut Markus Nari.
Sedangkan, Robinson diminta Markus untuk menyampaikan pesan kepada Sugiharto agar tidak menyebut namanya sebagai penerima aliran uang proyek e-KTP dalam persidangan. Robinson merupakan pengacara terdakwa Amran Hi Mustary yang terjerat kasus korupsi proyek pembangunan jalan Maluku. Amran satu sel penjara dengan Sugiharto di rutan cabang KPK.
"Atas permintaan tersebut, Amran Hi Mustary meneruskan pesan terdakwa kepada Sugiharto. Atas pesan tersebut, Sugiharto menolak dengan mengatakan, 'Tidak Pak, saya mau jujur terus terang saja. Apa adanya yang saya alami'. Di persidangan Sugiharto akan menerangkan sesuai dengan BAP-nya bahwa terdakwa menerima uang dari Sugiharto sebesar USD 400.000 di gedung kosong yang letaknya di samping TVRI Senayan," papar jaksa.
Markus diyakini bersalah melanggar Pasal 21 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Halaman 2 dari 2