Mohammad Dachlan dari NU, Menteri Agama Pertama Orde Baru

Mohammad Dachlan dari NU, Menteri Agama Pertama Orde Baru

Pasti Liberti Mappapa - detikNews
Sabtu, 26 Okt 2019 17:13 WIB
Foto: Ilustrasi Bendera RI dan NU. (Dok detikcom).
Jakarta - Penunjukan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Indonesia Maju dapat protes dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas menyebut banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes.

Robikin menuturkan para kiai memahami, Kementerian Agama harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Tapi, keputusan Jokowi memilih mantan Wakil Panglima TNI itu dipertanyakan kiai. "Para kiai tak habis mengerti terhadap pilihan yang ada," ujar Robikin dalam keterangan tertulis, Rabu (23/10/2019).

Pasca reformasi 1998, praktis Kementerian Agama dipimpin figur-figur yang merepresentasikan ormas Islam terbesar di Indonesia itu, kecuali Abdul Malik Fadjar dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang diangkat Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sementara masa Orde Baru, hanya satu tokoh NU yang dipercaya Soeharto memimpin Departemen Agama. Dia adalah KH Mohammad Dachlan yang lahir di Mandaran Rejo, Pasuruan, Jawa Timur pada 2 Juni 1909. Dachlan merupakan putra keempat dari delapan bersaudara pasangan Abdul Hamid dan Kasminah.

Meski lahir di tanah Jawa, seperti yang dikutip dari buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, leluhur Dachlan berasal dari tanah Mandar, Sulawesi Barat yang dibuang pemerintah kolonial Belanda ke pantai Pasuruan. Oleh ayahnya, Dachlan dimasukkan berguru pada Kiai Khuzaimi di Pesantren Tambakan lalu ke Kiai Yasin di Pesantren Kebon Sari.

Di dua pesantren yang berada di Pasuruan ini, Dachlan belajar ilmu agama tingkat dasar. Selepas itu, Dachlan menjadi santri Kiai Kholil di Bangkalan, Madura. Kiai Kholil juga merupakan guru santri-santri besar pendiri Nahdlatul Ulama (NU) seperti KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri.

Sepeninggal Kiai Kholil, Dachlan pindah ke Pesantren Tebu Ireng, Jombang di bawah bimbingan Kiai Hasyim Asyari. Di Tebu Ireng, Dachlan tak hanya mendalami ilmu agama, namun juga memperoleh bimbingan soal organisasi dan kepemimpinan. Masa-masa itu Kiai Hasyim memang sedang menyiapkan pendirian NU.

Dachlan mengikuti jejak gurunya berkiprah di NU dengan membentuk ranting NU di desa kelahirannya. Dia juga mendirikan NU Cabang Bangil sekaligus menjadi ketuanya, dan kemudian terpilih sebagai Ketua NU Cabang Pasuruan. Posisinya lalu naik menjadi konsul NU Daerah I yang membawahi beberapa cabang.

Masa-masa itu Dachlan dan sahabat-sahabatnya gencar melakukan lobi kepada para pengurus NU untuk menyatukan suara tentang pentingnya memberi ruang kepada muslimah yang ingin aktif di organisasi tersebut. Usulan itu baru diakomodasi saat Muktamar NU ke-16 di Purwokerto dengan dibentuknya Muslimat NU sebagai salah satu badan otonom.

Pada muktamar itu juga, Dachlan mulai masuk struktur NU tingkat nasional dengan terpilih jadi salah satu ketua, sekaligus mewakili NU dalam Dewan Pimpinan Partai Masyumi hingga 1952. "Sebagai ulama yang ahli dalam bidang fikih, di kalangan NU dia terkenal moderat dalam berfatwa," tulis Kamar Muchtar dalam buku Menteri-Menteri Agama RI.

Selama berkiprah di NU, Dachlan terbilang tak pernah absen dari struktur pengurus utama. Puncaknya, dalam Muktamar NU ke-20 yang digelar di Surabaya, pada September 1954, ayah dari enam orang anak itu terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.

Ketika Presiden Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin, Dachlan memilih jadi oposan dengan membentuk Liga Demokrasi pada 24 Maret 1960 bersama beberapa tokoh lintas partai. Sukarno yang berang lantas memberangus liga tersebut beberapa bulan kemudian.

Sesaat setelah meletusnya peristiwa G30S, Dachlan sebagai pimpinan Partai NU menyatakan memberi dukungan pada Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia. Dia juga menginstruksikan pada anggota NU untuk membantu pemerintah dan ABRI menyelamatkan Pancasila dan revolusi Indonesia dri setiap usaha gerilya politik PKI dan simpatisannya.


Atas kiprahnya tersebut, saat Jenderal Soeharto mengumumkan perombakan kabinet Ampera pada 11 Oktober 1967, nama KH Mohammad Dachlan yang juga Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) masuk menggantikan KH Saifuddin Zuhri.

Sejarawan yang juga penulis buku Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri 1830-1945, Zainul Milal Bizawie, mengatakan sebenarnya Presiden Soeharto menginginkan KH Muhammad Wahib Wahab yang pernah jadi Menteri Agama pada 1959-1962 masuk dalam kabinet itu. "Namun Kiai Wahib Wahab menolak," ujar Zainul pada detikcom.

Begitu duduk sebagai menteri, Dachlan langsung menghadapi masalah pelik. Dua minggu sebelum dilantik terjadi perusakan rumah ibadah di Makassar, Sulawesi Selatan. Akhirnya dia menggelar musyawarah antaragama pada 30 November 1967 agar peristiwa intoleran tersebut tak terulang.

Dachlan yang kembali menjabat Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan I pada Juni 1968 itu juga memprakarsai Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional yang digelar pada bulan ramadan di Makassar. Dia juga merintis pendirian Perguruan Tinggi Ilmu Alquran bersama KH Ibrahim Hossen.

Jabatan Dachlan di Kementerian Agama berakhir pada September 1971 saat Soeharto merobak kabinetnya. Abdul Mukti Ali, seorang akademisi diangkat sebagai penggantinya. Sejumlah analisis menyebut pengangkatan Mukti Ali merupakan langkah Soeharto mengadakan restrukturisasi dan reorientasi kebijakan di kementerian tersebut. Dachlan kemudian jadi orang NU pertama sekaligus yang terakhir jadi Menteri Agama di era Orde Baru.

Dosen Antropologi Budaya King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, Sumanto Al Qurtuby menyebut sejak era Mukti Ali itu, kemudian Menteri Alamsyah Ratu Prawiranegara dan puncaknya kelak di zaman Tarmizi Taher dan A. Malik Fadjar, pelan tapi pasti, peran NU mulai tergeser, lemah dan akhirnya lenyap dari Kementerian Agama.

"Karena Soeharto tidak memperhatikan atau mengabaikan kepentingan Nahdliyyin, maka NU mengubah 'model perjuangan' dan pendekatan dengan menjaga jarak terhadap kekuasaan dan bahkan menggalang gerakan oposisi terhadap pemerintah Orba," ujar Sumanto.


Menurut Sumanto, para kiai NU dulu, baik yang aktif di partai politik terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maupun kiai non-partai terlibat aktif dalam gerakan dan aksi perlawanan, baik perlawanan politik maupun budaya, terhadap rezim pemerintah.

"Jika ada kiai, tokoh, dan kader NU yang menjadi birokrat atau aktif di ormas dan Golkar atau bahkan sekedar menunjukkan simpati terhadap pemerintah, langsung mendapat stigma buruk dan negatif sebagai 'kiai kacung' dan antek Orba," ujar Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals itu.
Halaman 2 dari 3
(pal/fjp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads